Rumusan Pidana UU Perkebunan Dinilai Sumir
Berita

Rumusan Pidana UU Perkebunan Dinilai Sumir

Menurut ahli, ketentuan Pasal 21 dan 47 UU Perkebunan melanggar prinsip negara hukum dan tidak menjamin kepastian hukum.

ASh
Bacaan 2 Menit
Rumusan pidana UU perkebunan dinilai sumir, Foto: Sgp
Rumusan pidana UU perkebunan dinilai sumir, Foto: Sgp

Ketentuan Pasal 21 jo Pasal 47 UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan telah memenuhi asas lex certa yang berarti jelas, pasti, dan tidak meragukan. Dua pasal itu dinilai juga telah memenuhi asas legalitas yang disertai sanksi pidana, dan memenuhi aspek keseimbangan antara hak dan kewajiban.   

 

Demikian pendapat pemerintah yang disampaikan Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Gamal Nasir dalam sidang pengujian UU Perkebunan di ruang sidang Gedung MK Jakarta, Selasa (22/2). Pengujian ini diajukan oleh sejumlah petani yang diwakili pengacara publik yang tergabung dalam Public Interest Lawyer Network (PIL-Net).

 

Dalam sidang pleno yang dipimpin Hakim Konstitusi Achmad Sodiki itu, ahli yang dihadirkan pemohon juga didengar keterangannya. Dua orang ahli yang hadir adalah Prof Nur Hasan Ismail dan Prof Eddy OS Hiariej.

 

Dalam keterangannya, Gamal menyatakan Pasal 21 mengatur tentang larangan menggunakan tanah perkebunan tanpa izin karena tindakan itu melanggar hak atas tanah orang lain. Hak tersebut meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai yang dilindungi UU No 5 Tahun 1960 jo PP No 40 Tahun 1996 dan PP No 24 Tahun 1997. 

 

Menurutnya, rumusan Pasal 21 tidak hanya menekankan pada delik formil, tetapi juga delik meteril karena mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan yang dilarang tersebut. “Ini artinya, pengertian pasal ini tidak bisa diperluas sekehendak hati, misalnya jika seorang menginjak tanaman rumput tidak bisa dikategorikan melanggar Pasal 21 selama kebun itu dapat difungsikan,” katanya.   

 

Sementara, Pasal 47 tidak bisa dilepaskan dari Pasal 21. Sebab, berdasarkan penafsiran sistematis siapapun yang melanggar unsur-unsur Pasal 21 baik disengaja atau karena kelalaiannya dapat dituntut pidana sesuai Pasal 47 yang memuat sanksinya.

 

Ia menilai Pasal 21 telah memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi setiap usaha perkebunan. Hal ini sejalan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perkebunan. Di antaranya, UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. 

 

“Peraturan itu telah memberikan jaminan perlindungan dan kepastian bagi usaha perkebunan, hak atas tanah, penataan ruang, dan pengelolaan lingkungan,” tegas Gamal.  

 

Karena itu, dia berpendapat Pasal 21 dan Pasal 47 UU Perkebunan tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum, jaminan kepastian hukum, dan tidak membatasi hak untuk mengembangkan diri demi memenuhi kebutuhan dasar hidup, rasa aman, dan bebas dari rasa takut. Hal itu dijamin Pasal 1 angka 3, Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945.

 

Ketidakjelasan

Berbeda dengan pemerintah, Eddy OS Hiariej, ahli hukum pidana dari UGM, berpendapat Pasal 21 jo Pasal 47 mengandung ketidakjelasan atau kabur (lex certa). “Tegasnya, pembentuk undang-undang gagal memformulasikan rumusan delik karena Pasal 21 tidak memuat bentuk kesalahan (dengan sengaja atau kelalaian),” kata Eddy.

 

Mengutip pendapat pakar hukum pidana Prof Moelyatno, Eddy mengatakan jika suatu rumusan pidana tidak menyebutkan bentuk kesalahan, maka harus diartikan sebagai bentuk kesengajaan. “Penjelasan Pasal 21 yang menyebut semua tindakan yang mengakibatkan kerusakan kebun/tanaman seperti penebangan, panen paksa, pembakaran, sehingga kebun tidak berfungsi harus diartikan sebagai bentuk kesengajaan,” jelasnya.     

 

Namun, kata Eddy, anehnya Pasal 47, yang seharusnya hanya memuat sanksi pidana atas larangan yang terdapat dalam Pasal 21, ternyata menambah unsur pasal baru yang mengaburkan Pasal 21 yakni unsur dengan sengaja pada Pasal 47 ayat (1). Sedangkan Pasal 47 ayat (2) menambah unsur kelalaian. “Harusnya bentuk kesalahan ini harus dimuat dalam norma larangan (perbuatan), bukan dalam norma sanksi,” kritiknya.

 

Dimuatnya unsur kesengajaan dan kelalaian dalam Pasal 47 semakin membuat kabur ketentuan Pasal 21. “Terdapat contradictio in terminis antara Pasal 21 dan 47 ayat (2). Hal itu bertentangan dengan prinsip negara hukum dan tidak menjamin kepastian hukum karena rumusan pasal itu tidak memenuhi prinsip lex certa.”   

 

Untuk diketahui, empat orang petani yakni Japin, Vitalis Andi, Sakri dan Ngatimin menguji Pasal 21 dan Pasal 47 UU Perkebunan dan meminta MK agar membatalkan kedua pasal itu. Sebab, kedua pasal pidana itu kerap digunakan aparat untuk mengkriminalisasi rekan mereka sesama petani. Berdasarkan catatan PIL-Net hingga akhir 2010 terdapat 170 kasus krimininalisasi petani yang berhadapan dengan sejumlah perusahaan kakap.

 

Kedua pasal itu dinilai sumir dan melanggar asas lex certa karena tidak merumuskan secara jelas dan rinci uraian perbuatan pidananya berikut bentuk kesalahannya, sehingga dapat merugikan kepentingan petani. Kedua pasal itu pun dinilai bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945.

 

Tags: