Peneliti Institute for Strategic Lucky D Djani mengatakan, Konsorsium Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) telah melakukan pemantauan rekrutmen CPNS yang proses perekrutannya dilakukan secara nasional. Penelitian dilakukan di berbagai daerah seperti Bontang, Malang, dan Makasar. Berdasarkan pemantauan Konsorsium LSM, masih terjadi penyimpangan dalam proses rekrutmen CPNS.
“Tapi tidak separah tahun-tahun sebelumnya,” ujarnya dalam sebuah seminar di Jakarta, Rabu (8/14).
Menurut Lucky, Pemda tak memberikan respon positif jika rekrutmen CPNS dilakukan terpusat. Pihak Pemda beralasan mekanisme terpusat mengganggu otonomi daerah. Untuk itu, Pemda lebih memilih melakukan proses rekrutmen sendiri untuk menentukan siapa yang berhak lolos menjadi PNS.
“Tapi temuan kami ‘permainan’ masih ada, walau sulit dan terbatas,” katanya.
Peneliti Indonesia Corruption Watch(ICW), Siti Juliantari Rachman, menambahkan berdasarkan pos pengaduan dan online per 6 Januari 2014, sedikitnya terdapat 154 kasus yang diadukan masyarakat. Aduan itu banyak menyangkut tidak transparannya kelulusan CPNS yakni sebanyak 37 kasus, 21 kasus tidak transparannya seleksi administrasi, percaloan sebanyak 16 kasus, dan 15 kasus terkait panitia yang tidak transparan.
Pantauan Konsorsium LSM setidaknya menemukan beberapa modus dugaan kecurangan seperti praktik pemerasan, penyuapan, percaloan dan perjokian yang dilakukan oknum PNS atau pejabat dinas terkait. Praktik semacam itu kerap terjadi dari tahun ke tahun. Sayangnya, untuk membuktikan praktik tersebut terbilang sulit karena saksi dan pelaku praktik tak pernah terungkap.
Siti menjelaskan, pengumuman kelulusan yang tidak serentak di semua daerah kerap dijadikan celah oleh oknum PNS dan pejabat dinas terkait. Menurutnya, ada beberapa faktor yang menyebabkan itu. Pertama, kecenderungan peserta khawatir tidak lulus. Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh oknum PNS dan pejabat yang menawarkan atau menjanjikan kelulusan.
“Besarnya animo peserta yang sangat ingin menjadi PNS, maka ia akan menurut saja ketika dimintai sejumlah uang,” ujarnya.
Kedua, data dan proses rekrutmen CPNS tidak transparan. Lemahnya pengolahan data yang dilakukan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) menimbulkan persoalan bagi calon peserta. Semestinya, kata Siti, data diperbaharui setiap periodik. Dengan begitu, data yang masuk ke BKD merupakan data yang valid dan dapat diakses oleh publik. Ketiga, penyelenggaraan kurang efektif dan profesional.
Siti juga masih melihat banyaknya persoalan teknis di lapangan, terutama saat berlangsungnya tes TKD dan TKB. Hal ini disebabkan kurangnya koordinasi dan sosialisasi antara panitia seleksi nasional dan panitia daerah. “Ini terlihat dari panitia dan pengawas tidak kompeten, mereka tidak memahami SOP, sehingga banyak terjadi kesalahan dalam membuat berita acara,” ujarnya.
Direktur Forum Informasi dan Komunikasi (FIK) Organisasi non Pemerintah (Ornop) Kota Makasar, Asram Jaya, menambahkan perlunya sanksi administrasi pidana terhadap panitia yang melanggar SOP rekrutmen CPNS. Asram menyarankan, agar ke depan proses seleksi CPNS melibatkan Ornop, media dan perguruan tinggi. Langkah itu dilakukan agar proses pengawasan dilakukan ketat.
Menurutnya, sanksi dberikan tidak hanya kepada pansel CPNS, tetapi terhadap CPNS yang terbukti melakukan kecurangan. “Karena ini berkaitan dengan pengawasan yang lemah,” ujarnya.
Asram juga meminta Badan Kepegawaian Nasional (BKN) dan BKD harus transparan memberikan daftar CPNS honorer secara lengkap. Pasalnya, ketidaktransparan menjadi celah kecurangan. Misal, tidak adanya data asli tapi palsu, bodong, dan fiktif. Menurutnya, data seleksi CPNS yang lulus dan tidak, mesti diumumkan secara transparan, termasuk nilai hasil seleksi.
“Makanya ke depan harus ada data transparan, dan kami usulkan harus ada mekanisme komplain,” pungkasnya.