Ancaman Tak Mendapat Layanan Publik dalam Program BPJS
Fokus

Ancaman Tak Mendapat Layanan Publik dalam Program BPJS

Dua Peraturan Pemerintah mengatur secara khusus penjatuhan sanksi dalam rangka pelaksanaan program jaminan sosial. Perangkat penegakan hukumnya masih disiapkan.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Ancaman Tak Mendapat Layanan Publik dalam Program BPJS
Hukumonline
Kisah pilu pembuangan pasien di salah satu rumah sakit di Bandar Lampung membukakan mata banyak pihak. Bukan semata karena perbuatan itu, ironisnya, dilakukan secara terencana, tetapi juga menggambarkan semakin hilangnya sisi kemanusiaan penyelenggara fasilitas kesehatan.

Saat menyampaikan laporan tahunan, Direktur Advokasi YLBHI, Bahrain, menyindir kasus ini sebagai potret orientasi dokter dan fasilitas kesehatan pada uang sehingga melupakan sisi kemanusiaan. Tak lupa, Bahrain meminta petinggi Kementerian Kesehatan memberikan sanksi tegas kepada dokter, perawat dan petugas rumah sakit lainnya yang terlibat. “Pembuangan pasien tak bisa dibenarkan,” tegas Bahrain.

Kecaman tak hanya datang dari Bahrain. Anggota Komisi IX DPR, Poempida Hidayatulloh, meminta manajemen RSUD Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung dirombak agar kasus serupa tak terulang. “Pelakunya layak dihukum,” kata politisi Partai Golkar ini.

Wakil Menteri Kesehatan Ali Gufron Mukti memastikan Kementerian Kesehatan mendatangi lokasi dan melakukan tindakan tertentu setelah hasil investigasi rampung. Sementara dugaan tindak pidananya ditangani polisi. “Harus dilakukan tindakan tegas kalau benar itu pembuangan pasien,” kata Ali.

Bahrain, Poempida dan Ali Gufron satu suara tentang pentingnya menegakkan hukum terhadap pelaku. Tetapi dalam skala lebih luas, kasus semacam ini menurut Poempida, menjadi ujian bagi pelaksanaan layanan jaminan sosial bidang kesehatan (BPJS Kesehatan) di masa mendatang. Apalagi kasus-kasus penelantaran atau penolakan pasien lantaran persoalan uang sudah sering terjadi.

Tak mendapat layanan publik
Untuk menopang operasional BPJS terutama dalam rangka penegakan hukum, pemerintah mencoba mengatur kemungkinan penerapan sanksi. Menjelang akhir tahun 2013, pemerintah menerbitkan setidaknya dua Peraturan Pemerintah (PP) khusus.

Pertama, PP No. 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial. Kedua, PP No. 88 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Adminstratif Bagi Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Direksi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Sanksi administratif itu sebenarnya sudah disinggung sekilas dalam UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Tetapi kedua PP ini semakin memperjelas sanksi administratif baik kepada pengelola BPJS maupun kepada pengusaha pemberi kerja. Pasal 5 PP No. 86 Tahun 2013, misalnya, menjatuhkan sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu kepada pemberi kerja selain penyelenggara negara, orang atau penerima bantuan iuran (PBI) yang melanggar aturan.

Direktur Kepesertaan dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Ketenagakerjaan, Junaedi, mengatakan akan mengembangkan kewenangan pengawasan yang dimiliki BPJS. Sebab, penegakan hukum dapat mendorong perluasan kepesertaan. Yang penting, kata Junaedi, eksekusi sanksi harus jelas sehingga penegakan hukum yang dilakukan BPJS dapat memberi efek jera. “Kami inginkan hak untuk melakukan inspeksi itu, tapi jangan jadi macan ompong,” ucapnya.

Sanksi tidak mendapat pelayanan publik itu, meliputi perizinan terkait usaha, izin untuk ikut tender proyek, izin mempekerjakan tenaga kerja asing, izin penyedia jasa pekerja, dan bahkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Persoalannya, siapa yang akan menjamin sanksi itu bisa dijalankan? PP 86 menegaskan pengenaan sanksi tidak mendapat pelayanan publik dilakukan oleh unit pelayanan publik pada instansi pemerintah.

Dengan kata lain, BPJS tak mungkin menjalankan sendiri penjatuhan dan pengawasan sanksi administratif tersebut. Kerjasama dengan lembaga lain mutlak diperlukan. Apalagi, seperti kata Purnawarman Basundoro, instrumen penjatuhan sanksi itu belum disiapkan. BPJS, kata Direktur Hukum, Komunikasi dan Hubungan Antar Lembaga BPJS itu, masih menyiapkan perangkat yang dibutuhkan sebelum ancaman sanksi yang disebut dalam PP dijalankan. Sebut misalnya, dalam kondisi apa sanksi dijatuhkan, siapa petugas pemeriksa pemberi kerja, dan bagaimana koordinasi dengan instansi pemberi IMB. “Sekarang kami punya kewenangan melakukan pengawasan kepatuhan,” kata Purnawarman kepada hukumonline lewat telepon, Jumat (21/2).

Khusus untuk mengawasi pemberi kerja, kata Purnawarman, ada kemungkinan BPJS meminta bantuan pengawas ketenagakerjaan. Minimal untuk memberikan ‘bekal’ kepada petugas BPJS bagaimana mengawasi pemberi kerja dan aspek-aspek apa yang perlu diawasi.

BPJS Kesehatan tak kalah rawan, seperti kasus pembuangan pasien di Bandar Lampung, atau kasus penolakan pelayanan peserta JPK Jamsostek yang beralih ke BPJS. Purnawarman mengakui pembenahan besar dalam layanan BPJS Kesehatan masih diperlukan. Ia berharap pada akhir tahun, instrumen penegakan hukum itu sudah bisa jalan.

Rekrut Tenaga Hukum
Junaedi mengakui pentingnya penegakan hukum seperti penjatuhan sanksi seperti disebut dalam PP 86 dan 88. Jika tak dilaksanakan, di lapangan bisa terjadi kecurangan atau fraud. Masalahnya, sumber daya manusia (SDM) BPJS masih perlu dipersiapkan untuk menjalankan. Termasuk menyiapkan aturan internal untuk menjaga SDM yang ada agar tidak mengakali penjatuhan sanksi.

Kepala Biro SDM BPJS Ketenagakerjaan, Abdul Latif Algaff, mengatakan untuk sementara yang akan diberdayakan adalah pegawai BPJS. Kalaupun ada rekrutmen, seleksinya diperketat. Mereka yang direkrut adalah yang berpengalaman di bidang hukum. Algaaf percaya penegakan hukum berpengaruh positif terhadap keberhasilan program BPJS.

Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Hasbullah Thabrany, mengatakan penerapan sanksi administratif dalam pelaksanaan BPJS, khususnya BPJS Kesehatan, saat ini belum tepat. Sebab, BPJS Kesehatan belum optimal menjalankan tugasnya menggelar program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sehingga menimbulkan berbagai persoalan di lapangan. Mulai dari peserta yang ditolak faskes, manfaat berkurang dan standar pelayanan di kantor-kantor BPJS Kesehatan yang belum merata. Ujungnya, peserta tidak mendapatkan hak-hak sebagaimana mestinya.

Atas dasar itu Hasbullah menilai BPJS belum realistis untuk mampu menjalankan fungsinya menjatuhkan sanksi terhadap pemberi kerja yang melakukan pelanggaran. Sebab, manajemen BPJS belum siap, begitu pula dengan instrumen yang dibutuhkan seperti SDM. Ia mencontohkan jumlah pekerja di BPJS Kesehatan yang mencapai 4 ribuan belum mampu memberikan pelayanan terbaik bagi peserta.

Sekalipun penegakan hukum mampu dilakukan, dengan kondisi BPJS saat ini Hasbullah tidak yakin hal itu dapat mendorong perluasan kepesertaan secara signifikan. Ia membandingkan dengan bidang perpajakan yang menerapkan sanksi pidana bagi orang yang tidak membayar pajak. Walau UU terkait pajak sudah diterbitkan puluhan tahun lalu tapi sampai sekarang masyarakat yang punya NPWP baru 23 juta orang.

Untuk itu Hasbullah mengimbau pada masa awal, BPJS harus memprioritaskan pelayanan kepada peserta. Jika terbukti pelayanan yang digelar berjalan baik, barulah penegakan hukum dilakukan. “Buktikan dulu BPJS bisa melayani peserta dengan baik. Kalau semua itu beres baru law enforcement,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait