Gugatan eks Klien, Ancaman Bagi Profesi Advokat
Klien vs ABNR

Gugatan eks Klien, Ancaman Bagi Profesi Advokat

Ahli menilai forum untuk menyelesaikan persoalan ini adalah Dewan Kehormatan PERADI.

ALI
Bacaan 2 Menit
Suasana sidang gugatan klien vs ABNR di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (15/4). Foto: RES
Suasana sidang gugatan klien vs ABNR di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (15/4). Foto: RES
Sekretaris Dewan Kehormatan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Sugeng Teguh Santosa mengatakan bahwa gugatan perdata eks klien kepada advokat merupakan preseden buruk bagi profesi advokat.

Hal ini diutarakan Sugeng usai tampil sebagai ahli dalam sidang gugatan perdata yang dilayangkan oleh Sumatra Partners kepada firma hukum Ali Budiarjo, Nugroho, Reksodiputro (ABNR) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (15/4).

“Ini harus dipahami oleh setiap advokat, termasuk kuasa hukum penggugat,” ujarnya kepada wartawan.

Sugeng mengatakan setiap advokat harus menjaga komunitas profesi advokat ini dengan tidak mempersoalkan hasil kerja advokat ke ranah hukum. Ia menuturkan kuasa hukum yang melayangkan gugatan terhadap pekerjaan advokat bisa dikenai pelanggaran kode etik.

“Itu bisa dikenai tindakan etik bila ada yang melaporkan. Seharusnya kita sama-sama menjaga profesi ini,” ujarnya.

Dalam persidangan, Sugeng secara tegas menyatakan bahwa bila ada pekerjaan advokat yang dinilai kurang tepat oleh kliennya, maka si klien bisa melaporkan advokat tersebut ke Dewan Kehormatan PERADI. Nah, Dewan Kehormatan PERADI inilah yang kelak akan mengadili advokat berdasarkan kode etik advokat.

Sugeng mengutip ketentuan Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dua pasal ini mengatur bahwa advokat bisa dikenai tindakan oleh Dewan Kehormatan organisasi advokat bila advokat tersebut tak menjalankan profesinya dengan baik dan cermat.

“Yurisdiksi sudah ditegakkan dalam UU Advokat. Lembaga yang diberikan kewenangan untuk menegakkan adalah dewan kehormatan. Jadi, tak bisa dibawa ke ranah lain,” ujarnya.

Sugeng menambahkan setiap advokat terikat Pasal 5 huruf c kode etik advokat. Ketentuan itu berbunyi, “Keberatan-keberatan terhadap tindakan teman sejawat yang dianggap bertentangan dengan Kode Etik Advokat harus diajukan kepada Dewan Kehormatan untuk diperiksa dan tidak dibenarkan untuk disiarkan melalui media massa atau cara lain.”

“Kalau Anda sebagai advokat, Anda terikat Pasal 5 huruf c kode etik. Ketika klien datang kepada Anda, ada kewenangan Anda untuk menjaga harkat martabat komunitas (advokat,-red),” ujarnya.

Kuasa Hukum Sumatra Partners, Fredrik J Pinakunary bertanya kemana klien harus menggugat bila dia ingin menuntut ganti rugi. Pasalnya, upaya melaporkan klien ke Dewan Kehormatan, tak akan membuat kerugian klien dipulihkan. “Kalau mau ganti rugi, kemana harus menggugat?” tanyanya.

Sugeng bersikukuh pilihan pertama harus diselesaikan melalui Dewan Kehormatan. Ketika hukumonline mempertanyakan pertanyaan serupa usai sidang, Sugeng tetap pada pendiriannya. “Ya harus tetap pada dewan kehormatan. Kalau dianggap ada kerugian, itu harus dibuktikan dulu. Saya hanya berbicara dari sudut pandang kode etik,” ujarnya.

Selain Sugeng, ABNR juga menghadirkan mantan Hakim Agung Arbijoto sebagai ahli. Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini menjelaskan perbedaan karakteristik peradilan umum dan majelis kehormatan advokat. Bila peradilan umum mengadili dari segi hukum berupa salah atau benar, maka majelis kehormatan mengadiliki apakah perilaku advokat itu baik atau buruk.

Lebih lanjut, Arbijoto berpendapat bahwa bila menyangkut hubungan klien dan advokat diselesaikan di majelis kehormatan. 

Sekadar mengingatkan, majelis hakim PN Jaksel telah menjatuhkan putusan sela yang menolak eksepsi kompetensi absolut yang diajukan ABNR. Dalam putusan selanya, majelis hakim menyatakan lembaga yang berwenang memeriksa perkara Sumatra vs ABNR ini bukan Dewan Kehormatan PERADI. ABNR dikabarkan telah mengajukan banding terhadap putusan sela ini.

Sebagai informasi, Sumatera Partners menggugat ABNR senilai AS$4 juta karena dianggap telah melakukan malpraktik ketika memberi opini kepada Sumatra. ABNR dinilai telah lalai melakukan pengecekan sehingga terjadi fidusia ganda, adanya bank garansi palsu, serta melibatkan advokat asingnya dalam memberi opini padahal hal tersebut dilarang undang-undang di Indonesia.
Tags:

Berita Terkait