Vexatious Litigation ala Advokat PERADI
Fokus

Vexatious Litigation ala Advokat PERADI

Hanya ingin mengganggu.

Oleh:
ALI
Bacaan 2 Menit
Gedung PN Jakpus. Foto: SGP (ilustrasi)
Gedung PN Jakpus. Foto: SGP (ilustrasi)
Ada beragam motivasi setiap orang mengajukan gugatan ke pengadilan. Ada yang ingin menegakkan haknya yang dirugikan. Ada yang memang ingin meminta ganti rugi. Namun, ada juga yang hanya sekadar ‘merepotkan’ si tergugat. Nah, motiviasi ini yang dikenal dengan istilah Vexatious Litigation atau gugatan penggangguan.

Sejumlah advokat dari Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) rupanya mempraktikan langkah ini dengan menggugat anggota DPR penggagas Revisi UU Advokat, Ahmad Yani.

Mereka menilai Ahmad Yani bersama Dimyati Natakusuma adalah sosok yang bertanggung jawab dalam revisi UU Advokat yang dianggap bisa mengebiri eksistensi PERADI. Para advokat ini sepakat untuk “mengganggu” Yani dengan gugatan-gugatan yang akan dilayangkan di setiap daerah.

“Kalau kita ajukan gugatan kepada seseorang mungkin sudah cukup membuat dia mengerti bahwa dia boleh ganggu orang, tapi apakah dia merasa senang bila diganggu orang. Kita coba lakukan itu. Biar dia rasakan dulu sakitnya diganggu!” ujar Ketua Dewan Kehormatan PERADI Leonard Simorangkir, di sela-sela Rakernas PERADI, sekira tahun lalu.

Tak tanggung-tanggung, mereka menyiapkan sekitar 600 gugatan yang akan diajukan oleh individu-individu anggota PERADI yang tersebar di seluruh Indonesia. Angka 600 gugatan didapat dari jumlah 66 DPC PERADI di seluruh Indonesia. Minimal, setiap DPC ada advokat-advokat yang melayangkan 10 gugatan.

Lalu, bagaimana nasib janji ini?

Berdasarkan informasi yang diperoleh hukumonline, setidaknya sudah ada beberapa gugatan yang diajukan. Yakni, di PN Jakarta Timur oleh Jhon Panggabean dkk, di PN Jakarta Barat oleh Sumantap Simorangkir dkk (Yani digugat bersama dengan Dimyati Natakusumah), dan di PN Ruteng, Flores oleh Siprianus Ngganggu dkk.

Ketua DPN PERADI Otto Hasibuan mengatakan gugatan yang didaftarkan bahkan lebih dari itu. “Ada di beberapa daerah, seperti di NTT, Kendari, Makassar, Palopo dll,” ujarnya ketika ditemui usai melantik calon advokat di Banten, Senin (14/4).

Otto menuturkan bahwa gugatan itu diajukan karena para advokat tak puas dengan tindakan Yani dan Dimyati. “Mereka tak puas kenapa ada advokat yang mengkhianati profesi ini. Advokat kan profesi yang independen dan merdeka. Lalu, dibuat undang-undang yang tidak independen,” jelasnya.

Walau gugatan ini diajukan oleh masing-masing individu anggota PERADI, bukan berarti para petinggi PERADI setuju dengan langkah tersebut. “Saya kurang setuju. Itu sih hanya memberi kampanye gratis untuk Yani yang sedang mencalonkan diri kembali sebagai anggota DPR,” ujar salah seorang petinggi PERADI yang tidak mau disebutkan identitasnya.

Yani bukannya tak tahu bila dirinya menjadi sasaran “vexatious litigation” ala advokat-advokat PERADI. “Istilah kasarnya kan seperti: Gue kerjain lo! Saya sih silakan saja,” ujarnya kepada hukumonline beberapa waktu lalu.

Gugatan ini memang dirancang sedemikian rupa untuk ‘mengganggu’ Ahmad Yani. Dengan banjirnya gugatan-gugatan di setiap daerah, Yani ‘dipaksa’ untuk berkeliling Indonesia untuk meladeni gugatan-gugatan itu. Yani seakan akan dibuat untuk ‘tidak tidur’ selama satu tahun ini.  

Namun, rencana untuk ‘mengganggu’ ini belum tentu berhasil. Pasalnya, posisi Yani selaku penggagas revisi UU Advokat di-back up habis-habisan oleh Kongres Advokat Indonesia (KAI). Organisasi advokat ‘saingannya’ PERADI ini memang termasuk yang setuju dengan wacana revisi UU Advokat yang sedang dibahas di DPR ini.

Presiden KAI Indra Sahnun Lubis memastikan hal ini. “Kami bela habis-habisan Ahmad Yani. Semuanya (gugatan,-red) sudah kita jawab dan lawan,” tegasnya melalui sambungan telepon, Senin (14/4).

Marak di Negara Barat
Gugatan jenis vexatious litigation awalnya marak di negara-negara barat ketika warga negara sudah memahami hak-hak yang mereka miliki. Sehingga, bila ada yang melanggar hak mereka, maka gugatan akan dilayangkan ke pengadilan. Namun, tak sedikit gugatan yang muncul hanya mengganggu.

Salah satu contohnya di Amerika Serikat. Sistem hukum di negara Obama ini memungkinkan orang melakukan hal tersebut.

Profesor hukum dari Michigan State University College of Law, Nicholas J Wittner memaparkan proses gugatan perdata di AS. Di sana, sebelum gugatan ini disidangkan di pengadilan, ada tahapan yang disebut sebagai ‘discovery’. Pada tahap ini, penggugat berhak meminta sejumlah dokumen kepada tergugat.

Tergugat wajib menghadirkan dokumen tersebut. Bila tidak, maka pengadilan akan menghukum tergugat.

Nah, dalam praktik, penggugat sering meminta dokumen-dokumen yang sulit dihadirkan oleh tergugat. Si pihak tergugat bahkan harus mengeluarkan dana yang mahal (misalnya ribuan dollar) untuk menghadirkan dokumen tersebut. Namun, nilai gugatan hanya sebesar ratusan dollar.

“Akhirnya, tergugat memilih membayar nilai gugatan itu daripada membayar lebih mahal untuk menghadirkan dokumen yang diminta penggugat,” ujarnya dalam kuliah umum di Jakarta, Rabu (16/4)

Fenomena di Indonesia
Di Indonesia, fenomena vextious litigation memang sudah mulai marak sejak beberapa tahun lalu. Salah satu buktinya adalah gugatan-gugatan yang diajukan advokat PERADI ini. Di hukumonline, tema vexatious litigation ini sempat menjadi diskusi hangat oleh beberapa advokat pada periode Maret-April 2008.

Adalah Advokat Hendra Setiawan Boen yang awalnya memantik diskusi dengan tulisannya yang bertajuk Upaya Meminimalisir Vexatious Litigation di Indonesia. Hendra menyarankan perlu adanya aturan untuk meminimalisir gugatan penggangguan ini.

Ia menyatakan belum ada aturan mengenai akibat hukum seseorang yang mengajukan gugatan secara asal-asalan dan dengan iktikad buruk, sedang dalam hukum pidana sudah diatur mengenai delik mengajukan laporan palsu.

Hendra menyarankan agar perlu dibuat aturan yang mengatur bahwa pihak yang terbukti melakukan vexatious litigation wajib mengganti kerugian kepada tergugat. Baik, berupa kehilangan waktu maupun biaya akibat melayani gugatan tidak berdasar tersebut di pengadilan.

Advokat Ahmad Rosadi Harahap khawatir aturan semacam itu akan menimbulkan ‘judicial dictatorship’, dengan diberikan kewenangan hakim ‘menghukum’ penggugat yang dianggap ‘mengganggu’. Ia menyarankan agar upaya meminimalisir gugatan penggangguan berdasarkan proses hukum yang ada.

Ahmad Rosadi berpendapat sebaiknya dibiarkan saja potensi kemanusiaan tergugat (kecakapan teknis kuasa hukumnya) yang menghadapi segala potensi “kebinatangan” penggugat yang mengganggu itu. Dan terhadap advokat yang bersedia mendampinginya, biarkanlah rejim UU Advokat No. 18 Tahun 2003 yang menanganinya lewat lembaga kode etik PERADI. Adapun terhadap para hakim, biarlah irah-irah-nya yang menilai sendiri.

Sedangkan, Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta yang juga berprofesi advokat, Al Wisnubroto melihat fenomena vexatious litigation dalam perspektif hukum progresif. Menurutnya, hukum progresif adalah pergeseran dari sistem formal ke sistem manusia.

Jadi, lanjutnya, vexatious litigation yang benar-benar bersifat vexing (tidak ada visi luhurnya) memang tidak boleh dibiarkan menjadi trend dalam budaya peradilan. Namun, biarkan peran manusia (hakim) secara progresif (pengetahuan, keahlian dan logika yang utuh serta ketajaman nurani) dalam memberikan makna di balik sebuah gugatan.
Tags:

Berita Terkait