Persaingan KMP-KIH, Ajang Pembuktian Sistem Presidensial
Berita

Persaingan KMP-KIH, Ajang Pembuktian Sistem Presidensial

Minimal ada resiko yang timbul dan merugikan banyak pihak

ADY
Bacaan 2 Menit
Ketua DKPP, Jimly Asshiddiqie. Foto: RES
Ketua DKPP, Jimly Asshiddiqie. Foto: RES
Pakar hukum tata negara, Jimly Asshiddiqie, meminta semua pihak melihat persaingan kubu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) secara positif. Persaingan ini justru menjadi ajang pembuktian sistem presidensial yang dianut Indonesia.

Pandangan itu disampaikan Jimly di sela-sela diskusi yang digelar di kantor Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Kamis (30/10). Menurut Ketua DKPP ini, presiden Indonesia punya kedudukan yang sangat kuat.

Meskipun presiden tak didukung mayoritas anggota DPR, tak berarti kerja presiden, wakil presiden, dan para menteri terhambat. Dalam sistem presidensial, posisi presiden Indonesia sangat kuat, bahkan lebih kuat dibanding presiden Amerika Serikat. “Walaupun tidak didukung DPR, posisi Presiden kuat. Presiden RI itu lebih kuat kedudukannya ketimbang Presiden Amerika Serikat,” katanya dalam diskusi di kantor DKPP di Jakarta, Kamis (30/10).

Menurut Jimly, wajar terjadi kubu-kubuan dalam pembentukan di berbagai negara. Sistem presidensil memastikan antara Presiden dan DPR tidak bisa saling menjatuhkan. Dalam hubungan itu, posisi Presiden cenderung lebih kuat. Misalnya, Presiden bisa menolak RUU yang dibahas di DPR. Jimly member contoh ketika Presiden menolak menolak RUU Kawasan Perdagangan Bebas Batam yang sudah disetujui DPR. “Dalam UUD RI 1945 memang tidak ada kata veto, tapi praktik itu bisa kita sebut sebagai hak veto Presiden,” ujarnya.

Bandingkan, hak veto yang dimiliki presiden Amerika Serikat tidak mutlak. Sebab, ketika DPR Amerika Serikat mengesahkan RUU dan Presiden tidak menyetujuinya maka RUU itu dikembalikan ke DPR. Kemudian, DPR dan Senat (DPD) membahas RUU yang ditolak Presiden itu. Jika kedua lembaga legislatif itu menyetujui RUU tersebut maka Presiden wajib menyetujuinya.

Kuatnya posisi Presiden dalam sistem presidensil juga dapat dilihat dari sulitnya parlemen melakukan impeachment kepada Presiden. Atas dasar itu Jimly mengimbau kepada KMP dan KIH agar berdialog untuk mencari solusi atas persoalan yang ada. Sekalipun dialog itu buntu dan KIH gagal menempatkan anggota koalisinya dalam jabatan strategis di DPR maka itu harus dimaknai sebagai peluang untuk mempraktikan sistem presidensil secara benar.

Direktur Eksekutif Correct, Refly Harun, mengatakan pengelompokan KMP-KIH menandakan belum tuntasnya pertarungan politik antar kedua kubu itu pasca Pilpres 2014. Awalnya ia berharap pertarungan politik itu berakhir setelah Jokowi-JK menyambangi sejumlah pimpinan elit partai politik (parpol) termasuk yang tergabung dalam KMP. Namun, proses pemilihan alat kelengkapan DPR beberapa waktu lalu memicu kembali pertarungan politik kedua kelompok tersebut.

Konflik internal di PPP juga meramaikan pertarungan politik yang terjadi. Sebab, pimpinan DPR mengakui kepengurusan PPP kubu Suryadharma Ali (SDA). Sebaliknya, Menteri Hukum dan HAM mengakui kepengurusan PPP kubu Romahurmuziy (SDA). Konflik internal itu mempengaruhi dinamika DPR karena Fraksi PPP mempengaruhi kekuatan masing-masing koalisi di parlemen. Sebab, keputusan DPR baru dapat dihasilkan jika disepakati oleh setengah lebih kuorum atau enam fraksi.

Jika perseteruan politik itu masih berlanjut, Refly, melihat minimal ada tiga pihak yang dirugikan. Pertama, bakal ada kebuntuan dalam proses legislasi dan budgeting di DPR. Sebab, harus ada persetujuan DPR untuk membentuk Prolegnas 2015. Fungsi budgeting DPR akan terkendala karena ada perubahan nomenklatur kabinet dan pelaksanaannya butuh persetujuan DPR.

Kedua, pemerintahan Jokowi-JK akan dilematis karena masing-masing kubu akan merasa sebagai mitra kerja yang sah dari pemerintah. “Kalau konflik di DPR terus berlarut maka pemerintahan Jokowi-JK akan tersandera,” ujarnya.

Ketiga, masyarakat akan dirugikan karena tidak mendapat pelayanan yang baik dari orang-orang yang telah dipilih dalam Pemilu 2014. Sebab masing-masing lembaga tidak menjalankan fungsinya dengan baik.
Tags:

Berita Terkait