Problematika Penetapan dan Penangkapan Tersangka
Kolom

Problematika Penetapan dan Penangkapan Tersangka

Tindakan penangkapan hanya dapat dilakukan apabila tersangka tidak hadir tanpa alasan yang patut dan wajar setelah dipanggil dua kali berturut-turut oleh penyidik.

Bacaan 2 Menit
Yuliana Rosalita Kurniawaty. Foto: Facebook
Yuliana Rosalita Kurniawaty. Foto: Facebook
Menetapkan seseorang menjadi tersangka merupakan hal yang cukup mudah di Indonesia.Cukup dengan sebuah laporan polisi dan satu alat bukti yang sah saja, seseorang bisa langsung menyandang status tersangka.

Beberapa waktu ini, marak pemberitaan tentang penangkapan seorang pejabat negara yang diduga melakukan suatu tindak pidana umum. Peristiwa ini kemudian menjadi polemik dan menarik perhatian publik yang cukup luas.

Pemberitaan atas penangkapan seperti ini seharusnya memberikan muatan materi hukum acara pidana sehingga masyarakat pun memperoleh kesempatan untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum acara pidana di Republik ini. Seringkali, hukum acara pidana diterapkan berdasarkan penafsiran hukum yang berbeda-bedaoleh oknum penegak hukum.

Mengenai Penetapan status Tersangka
Sampai dengan saat ini hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia adalah UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang kemudian disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Definisi tersangka sangat jelas diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 14 KUHAP yang menyebutkan bahwa: “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.”

Selanjutnya definisi tersangka dengan rumusan yang sama diatur pula dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (Perkap No. 14 Tahun 2012).

Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 14 KUHAP tidak secara spesifik diatur di dalam KUHAP. Definisi itu justru diatur dalam Pasal 1 angka 21 Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagai berikut:

Bukti Permulaan adalah alat bukti berupa Laporan Polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan penangkapan.

Jadi, berdasarkan laporan polisi dan satu alat bukti yang sah maka seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka serta dapat dilakukan penangkapan.

KUHAP memang tidak menjelaskan lebih lanjut tentang definisi ‘bukti permulaan’, namun KUHAP secara jelas mengatur tentang alat bukti yang sah di dalam ketentuan Pasal 184 KUHAP yaitu meliputi: (1) keterangan saksi, (2) keterangan ahli, (3) surat, (4) petunjuk, (5) keterangan terdakwa.

Dalam proses penyidikan hanya dimungkinkan untuk memperoleh alat bukti yang sah berupa keterangan saksi, keterangan ahli dan surat. Sementara, alat bukti berupa petunjuk diperoleh dari penilaian hakim setelah melakukan pemeriksaan di dalam persidangan, dan alat bukti berupa keterangan terdakwa diperoleh ketika seorang terdakwa di dalam persidangan, sebagaimana hal tersebut jelas diatur di dalam ketentuan Pasal 188 ayat (3) KUHAP dan ketentuan Pasal 189 ayat (1) KUHAP.

Apabila di dalam suatu proses penyidikan terdapat laporan polisi dan satu alat bukti yang sah maka seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka, dan alat bukti yang sah yang dimaksud tersebut dapat berupa keterangan saksi, keterangan ahli dan surat. Selain itu, perlu ditekankan jika ‘keterangan saksi’ yang dimaksud sebagai alat bukti yang sah tidak terlepas dari ketentuan Pasal 185 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP serta asas unus testis nullus testis.

Keterangan seorang saksi saja tidak dapat serta merta dapat menjadi satu alat bukti yang sah, karena harus disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. Itupun haruslah bersesuaian dengan alat bukti yang lain yang telah ada, sebagaimana lebih lanjut diatur dalam ketentuan Pasal 185 ayat (6) KUHAP, sebab kinerja penyidik dalam mengumpulkan alat bukti yang sah tersebut sebagai “bahan baku” bagi hakim untuk memeriksa dan mengadili suatu tindak pidana

Bilamana telah terdapat laporan polisi didukung dengan satu alat bukti yang sah dengan turut memperhatikan ketentuan Pasal 185 ayat (3), Pasal 188 ayat (3) dan Pasal 189 ayat (1) KUHAP, maka seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka.

Terhadap tersangka tidak dapat dengan serta merta dikenai upaya paksa berupa penangkapan, karena ada syarat-syarat tertentu yang diatur Perkap No. 14 Tahun 2012. Pasal 36 ayat (1) menyatakan tindakan penangkapan terhadap seorang tersangka hanya dapat dilakukan berdasarkan dua pertimbangan yang bersifat kumulatif (bukan alternatif), yaitu:
  1. Adanya bukti permulaan yang cukup yaitu laporan polisi didukung dengan satu alat bukti yang sah dengan turut memperhatikan ketentuan Pasal 185 ayat (3), Pasal 188 ayat (3) dan Pasal 189 ayat (1) KUHAP, dan
  2. Tersangka telah dipanggil dua kali berturut-turut tidak hadir tanpa alasan yang patut dan wajar.

Jadi, tindakan penangkapan hanya dapat dilakukan apabila tersangka tidak hadir tanpa alasan yang patut dan wajar setelah dipanggil dua kali berturut-turut oleh penyidik. Apabila tersangka selalu hadir memenuhi panggilan penyidik, maka perintah penangkapan berdasarkan Perkap No. 14 Tahun 2012, tidak dapat dilakukan terhadap tersangka.

Demikian halnya terhadap tersangka yang baru dipanggil satu kali dan telah menghadap pada penyidik untuk kepentingan pemeriksaan guna penyidikan, tidak dapat seketika juga dikenakan penangkapan. Berhubung tersangka telah datang memenuhi panggilan penyidik maka salah satu dari dua pertimbangan dilakukannya tindakan penangkapan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 36 ayat (1) Perkap No. 14 Tahun 2012 tidaklah terpenuhi.

Akan tetapi terhadap diri seorang tersangka dapat dikenakan penahanan meskipun terhadapnya tidak dikenai tindakan penangkapan, dimana tindakan penahanan tersebut dilakukan dengan pertimbangan yang bersifat alternatif berdasarkan ketentuan Pasal 44 Perkap No. 14 Tahun 2012, sebagai berikut:
1.    tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri,
2.    tersangka dikhawatirkan akan mengulangi perbuatannya,
3.    tersangka dikhawatirkan akan menghilangkan barang bukti, dan
4.    tersangka diperkirakan mempersulit penyidikan.

Sedangkan Pasal 21 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa perintah penahanan dapat dilakukan terhadap seorang tersangka dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan:
1.    kekhawatiran bahwa tersangka akan akan melarikan diri,
2.    merusak atau menghilangkan barang bukti, dan/atau
3.    mengulangi tindak pidana.

Berawal dari suatu proses penegakan hukum yang sesuai dengan koridor hukum maka diharapkan lahir sebuah keadilan bagi masyarakat yang membutuhkan, dan bangsa Indonesia sedang dalam proses mencapai keadilan itu. Tentu saja tujuan itu akan tercapai bilamana ada iktikad baik untuk menerapkan hukum tanpa ditunggangi oleh ‘kepentingan’ dan hanya murni sesuai dengan proses hukum.

*Wakil Direktur Divisi Pidana LBH Mawar Saron
Tags:

Berita Terkait