Perlu Estafet Kepemimpinan di Komisi Negara Independen
Konferensi HTN II:

Perlu Estafet Kepemimpinan di Komisi Negara Independen

Menkumham menyarankan perlu dibedakan secara tegas antara sumber hukum pengaturan komisi eksekutif dengan komisi independen.

ASH
Bacaan 2 Menit
Zainal Arifin Mochtar (kedua dari kanan) dalam acara Konferensi HTN, Padang, Jumat (11/9). Foto: ASH
Zainal Arifin Mochtar (kedua dari kanan) dalam acara Konferensi HTN, Padang, Jumat (11/9). Foto: ASH
Proses pengisian jabatan pimpinan lembaga atau komisi negara independen secara serentak dinilai mengganggu ritme kepemimpinan di lembaga tersebut. Karena itu, diperlukan estafet kepemimpinan secara berkelanjutan di komisi negara independen. Caranya, setiap proses penggantian kepemimpinan tidak diganti seluruhnya agar proses kesinambungan tetap terjaga.

“Proses penggantian kepemimpinan di komisi negara jangan diganti seluruhnya, jangan start to zero terus,” ujar Dosen Fakultas Hukum UGM, Zainal Arifin Mochtar saat berbicara dalam acara Konferensi Hukum Tata Negara Kedua yang diselenggarakan Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas Convention Hall Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Jum'at (11/9).

Zainal menilai selama ini model proses penggantian jabatan di lembaga negara/komisi negara independen dilakukan secara serentak. Dia memberi contoh di Amerika bahwa model pengisian jabatan di lembaga independen tidak dilakukan secara serentak untuk menjaga kesinambungan ritme kerja lembaga.

“Ketika periode Komisioner KPU berganti menerbitkan peraturan, Komisioner KPU yang baru bisa saja tidak paham aturan yang dibuatnya,” ujarnya mencontohkan.

Dia juga menyoroti penamaan lembaga negara independen yang berbeda-beda terhadap setiap lembaga yang ada. Sepengetahuannya, tidak ada basis teori yang jelas atas penamaan jenis lembaga yang berbeda-beda oleh DPR dan pemerintah. Menurutnya, pembentukan sejumlah lembaga indepeden tidak terbangun rapi tanpa konsep dan blue print (cetak biru) yang jelas.

“Kenapa dipilih nama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinamakan komisi, kenapa Dewan Pers diberi nama dewan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diberi nama otoritas? Ini tidak ada rasionya,” kritiknya.

Sebelumnya, dalam kata pembuka, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menjelaskan secara teori ada perbedaan antara lembaga biasa atau komisi eksekutif dan komisi independen. Seperti KPK, KY, Komnas HAM, KPU, Komnas Perempuan, KPPU, Komisi Ombudsman, KPI, KPAI, PPATK, Dewan Pers yang dibentuk lembaga eksekutif. Misalnya, proses pengangkatan lembaga biasa berbeda dengan pengangkatan komisi independen yang melibatkan DPR.

“Ada keterbatasan presiden mengangkat dan memberhentikan komisi-komisi independen. Presiden hanya terbatas bisa memindahkan pimpinan lembaga independen atas kehendak murni atau kinerja (buruk) yang dilaporkan,” kata Yasonna dalam kesempatan yang sama.

Dia mengakui ke depan perlu dibedakan secara tegas sumber hukum pengaturan komisi eksekutif dan komisi independen. Misalnya, pembentukan komisi eksekutif seyogyanya cukup dengan Peraturan Presiden (Perpres), sementara komisi independen harus dibentuk dengan Undang-Undang.

“Ini juga perlu pengkajian yang sungguh-sungguh dan mendalam terkait organ-organ negara yang sesuai konstitusi terutama oleh pembentuk UU,” harapnya.
Tags:

Berita Terkait