OJK Tunjuk BMAI dan BAPMI Sebagai LAPS
Berita

OJK Tunjuk BMAI dan BAPMI Sebagai LAPS

Mulai beroperasi sejak 1 Desember 2015.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, Kusumaningtuti S Soetiono (tengah). Foto: NNP
Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, Kusumaningtuti S Soetiono (tengah). Foto: NNP
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menetapkan Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi (BMAI) dan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) sebagai Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) antara konsumen dengan lembaga jasa keuangan di sektor perasuransian dan pasar modal. Penetapan kedua lembaga itu dilakukan dalam daftar LAPS Nomor KEP-3/D.07/2015 tertanggal 24 November 2015 lalu.

Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, Kusumaningtuti S Soetiono, mengatakan bahwa dua lembaga itu, resmi beroperasi sejak 1 Desember 2015. LAPS atau lebih dikenal dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) ini nantinya mempunyai layanan penyelesaian sengketa paling tidak berupa mediasi, ajudikasi, dan arbitrase.

“Hari ini diumumkan di website OJK dan harian Kompas bahwa BAPMI dan BMAI sudah beroperasi sejak 1 Desember 2015 sesuai dengan ketentuan POJK,” katanya di Jakarta, Kamis (3/12).

Untuk sektor lain seperti perbankan, pegadaian, penjaminan, perusahaan pembiayaan, dana pensiun, kata Tituk, saat ini masih belum ditetapkan lembaga mana yang memenuhi prinsip aksepsibilitas, independensi, keadilan, efisiensi dan efektifitas. Meski begitu, LAPS untuk sejumlah sektor keuangan itu paling lambat diharapkan akan mulai beroperasi pada Januari 2016.

Untuk diketahui, dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 1/POJK/07/2014 Tahun 2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan bahwa LAPS wajib dibentuk paling lambat tanggal 31 Desember 2015. Menurut Tituk, terhadap sektor-sektor yang LAPS-nya belum ditetapkan, maka konsumen dapat mengajukan permohonan fasilitasi penyelesaian sengketa kepada OJK. Akan tetapi, Pasal 11 ayat (2) POJK itu menyebutkan bahwa fasilitasi sengketa oleh OJK itu hanya yang sesuai dengan ketentuan dalam POJK yang mengatur mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan.

Di tempat yang sama, Direktur Perlindungan Konsumen OJK, Sondang Martha Samosir, mengatakan, bahwa sebetulnya sesuai aturan LAPS baru mulai beroperasi pada Januari 2016 nanti. Percepatan beroperasinya LAPS di OJK di satu sisi masih terkendala sejumlah hal.

Sondang mengungkapkan bahwa kendala yang dihadapi hanya sebatas masalah administrasi seperti ruang pengaduan dan staff untuk LAPS itu. “Sekarang sudah ada yang masuk (pengaduan, red) tapi karena ada masalah adminsitrasi seperti ruangan tempat LAPS, lalu staff. Jadi bukan karena masalah-masalah lain,” katanya.

Terlepas dari hal itu, OJK menetapkan kebijakan bahwa sistem penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan diselesaikan melalui dua tahapan. Tahapan pertama, pengaduan harus diselesaikan pertama kali oleh lembaga jasa keuangan atau Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK).

Penyelesaian itu dapat dilakukan oleh PUJK dengan membentuk unit pengaduan tersendiri atau minimal melalui penambahan fungsi pengaduan dalam unit-unit terkait yang sudah ada lebih dulu. Dalam international best practices, hal itu disebut Internal Dispute Resolution (IDR) yang diatur dalam Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor: 2/SEOJK.07/2014 tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen pada Pelaku Usaha Jasa Keuangan.

Pada tahap kedua, ketika tidak tercapai kesepakatan dalam aduan yang disampaikan, konsumen dan PUJK dapat menyelesaikan sengketanya melalui LAPS. Sehingga, syarat bagi konsumen untuk dapat melakukan penyelesaian melalui LAPS adalah sengketa antara konsumen dengan PUJK mesti terlebih dahulu diselesaikan oleh PUJK.

“Jadi konsumen punya pilihan dia bisa ke LAPS kalau ada sengketa yang tidak bisa diselesaikan lembaga keuangan (PUJK, red) sendiri,” katanya.

Selain itu, penyelesaian sengketa melalui LAPS juga harus didahului dengan adanya perjanjian atau kontrak antara konsumen dengan PUJK yang sebelumnya telah menyepakati bahwa apabila sengketa tidak dapat diselesaikan secara musyawarah, maka kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan melalui LAPS.

Terlepas dari hal tersebut, LAPS juga diwajibkan secara rutin melakukan pelaporan kepada OJK tentang adanya PUJK yang tidak melaksanakan putusan LAPS tersebut. Dimana, jika ada PUJK yang tidak melaksanakan putusan dari LAPS, maka OJK dapat mengenakan sanksi kepada PUJK berupa pemberian sanksi administratif.

“OJK intinya tetap membimbing LAPS itu, meski LAPS beroperasi secara mandiri untuk penyelesaian sengketa. Tapi seluruhnya, seperti governance-nya dan kesinambungannya dikawal oleh OJK,” ujar Tituk.

Langkah OJK percepat beroperasinya LAPS mendapat apresiasi dari advokat yang juga Koordinator Komisi II Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) David ML Tobing. Doktor bidang klausula baku itu mengatakan, keberadaan LAPS sebagai salah satu media dalam penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan bahkan bisa menggantikan peran dari BPSK.

Dikatakan David, jika OJK bisa membentuk LAPS hingga ke level kabupaten/kota se Indonesia, maka bisa dipastikan peran BPSK bisa jadi akan tergantikan LAPS bentukan OJK. Atas dasar itu, ia mengusulkan agar LAPS juga dibentuk hingga level kabupaten/kota serta merambah ke desa-desa. “Usahakan kalau bisa OJK bentuk LAPS di Kabupaten/Kota hingga ke Desa,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait