Desakan Terbitnya Hukum Acara Ekonomi Syariah Kembali Menguat
Berita

Desakan Terbitnya Hukum Acara Ekonomi Syariah Kembali Menguat

Sudah tujuh tahun MA belum menerbitkan pedoman beracara untuk penyelesaian sengketa ekonomi syariah pasca diterbitkannya Perma Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Logo APSI. Foto:dpn-apsi.or.id
Logo APSI. Foto:dpn-apsi.or.id
Desakan agar Mahkamah Agung (MA) menebritkan Kompilasi Hukum Acara Ekonomi Syariah (KHAES) kembali menguat. Kali ini desakan datang dari Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (DPN APSI). Wakil Ketua DPN APSI Mustolih Siradj menilai dengan semakin banyaknya sengketa (dispute) di sektor bisnis syariah yang semakin marak, kebutuhan akan pedoman beracara dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah pun semakin mendesak.

“Kami mendesak Ketua MA segera menerbitkan hukum acara tersebut. Kabarnya draft-nya sudah final. Tapi entah apalagi yang ditunggu,” kata Mustolih dalam siaran pers yang diterima hukumonline, Senin (18/1).

Dijelaskan Mustolih, potensi sengketa bisnis syariah yang sangat luas dan tidak melulu di sektor perbankan syariah melainkan hampir tiap sektor dalam kegiatan bisnis syariah menjadi bukti urgensi kebutuhan terhadap KHAES. Terlebih lagi, memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), ia melihat sudah semestinya MA segera menerbitkan KHAES.  

Pendiri sekaligus Managing Partner Firma Hukum Siradj & Partners itu menilai, sebetulnya MA cukup responsif dalam melihat geliat dari perkembangan sistem ekonomi syariah. Sebagai contoh, pada tanggal 10 September 2008 silam, MA telah menerbitkan aturan berupa hukum materil tentang ekonomi syariah melalui Peraturan MA (Perma) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES).

“Cukup cepat proses perumusan KHES ini. Kami apresiasi. Meskipun ada catatan, konsepnya masih terpengaruh kuat Al-Majaallatul Ahkam (buku hukum produk zaman Turki Utsmani/Ottoman). Maka jika dikaji lebih jauh masih perlu ada reaktualisasi dan kontekstualisasi KHES terhadap persoalan ekonomi syariah di tanah air. Bahasanya pun kurang lentur dan membumi,” paparnya.

Namun di sisi lain, Mustolih menambahkan, MA cukup lambat dalam merespon kebutuhan akan adanya hukum acara (hukum formil) penyelesaian sengketa ekonomi syariah sebagai ‘tandem’ bagi KHES. Padahal, UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah menambah kompetensi pengadilan agama sebagai tempat penyelesaian sengketa ekonomi syariah.

Tak hanya itu, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji materi Pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah juga mengukuhkan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah menjadi kompetensi pengadilan agama. Dimana sebelumnya penyelesaian sengketa perbankan syariah masih terjadi dualisme, yakni bisa dibawa ke pengadilan negeri, pengadilan agama, atau bahkan di luar pengadilan. Intinya dilakukan sesuai dengan kesepakatan akad yang disepakati para pihak (choice of forum).

“Dulu pimpinan MA janji satu atau dua tahun setelah KHES terbit, hukum acara penyelesaian sengketa ekonomi syariah akan segera menyusul. Tapi nyatanya sampai sekarang sudah tujuh tahun belum ada wujudnya,” ujarnya.

Dimintai tanggapannya, hakim Pengadilan Agama Kabupaten Malang Ahmad Zaenal Fanani berpendapat bahwa pedoman beracara seperti KHAES menjadi sangat urgent terutama bagi para hakim di pengadilan agama. Idealnya, memang ketika hukum materil yang berlaku (KHES) sudah bersumber dari hukum islam. Maka pedoman beracaranya pun semestinya juga ikut menyesuaikan (KHAES).

Jika tidak, Fanani menilai, akan ada sejumlah hal yang tidak terjawab oleh hukum acara perdata konvensional ketika sumber hukum materil yang ada sudah mengacu kepada aspek hukum Islam. “Tapi apakah bisa sesuai dengan nafas dan semangat serta tujuan dari ekonomi syariah? Itu yang kemudian perlu ada hukum acara khusus ekonomi syariah (KHAES) yang selaras dengan semangat, tujuan, dan asas yang menjadi dasar hukum ekonomi syariah,” katanya.

Terkait KHAES, sepengetahuan Fanani, MA sebetulnya telah melakukan pembahasan terhadap KHAES dan telah menghasilkan sebuah draf. Seingatnya juga, dalam draf KHAES itu ada sejumlah hal yang menjadi pokok-pokok pembahasan, antara lain soal percepatan jangka waktu penyelesian sengketa ekonomi syariah, intervensi pihak lain di tengah sengketa, mengenai prorograsi (kewenangan pengadilan dilihat berdasarkan nominal sengketa), hingga pembuktian.

Hanya saja, hingga saat ini memang MA belum juga menerbitkan pedoman beracara yang menjadi pegangan bagi para hakim-hakim agama itu. “Bagi saya, untuk kebutuhan di lapangan itu menjadi kebutuhan. Tapi bukan berarti MA belum bekerja, pokja itu sudah terbentuk. Saya kira tim masih bekerja dan itu butuh waktu agar hasilnya lebih maksimal lah,” tandas Dosen hukum bisnis syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang itu.

Untuk diketahui, sejak tahun 2011 silam draf KHAES telah dibahas serta disosialisasikan di lingkungan internal MA. Ketika itu, pembahasan yang dilakukan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Ditjen Badilag) MA dan tim pokja penyusunan yang diketuai Prof Abdul Manan sudah sampai mengundang sejumlah ahli, seperti ahli ekonomi syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Faturrahman Jamil dan ahli lain dari sektor perbankan syariah dan asuransi syariah.

Akan Rancu
Terlepas dari hal itu, Mustolih menjelaskan bahwa penyelesaian sengketa ekonomi atau bisnis syariah yang sudah berjalan saat ini masih merujuk pada ketentuan hukum acara perdata yang biasa dilaksanakan di lingkungan peradilan negeri. Artinya, pedoman beracara yang dipakai masih seperti HIR (Het Herzeine Indlandsche Reglement), R.Bg (Rechts Reglement Buitengewesten), dan  Rv (Reglement of de Rechtsvordering).

Lebih lanjut, aturan lain yang menjadi pedoman beracara dalam penyelesaian sengketa bisnis dan ekonomi syariah juga masih merujuk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUH Perdata), UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, serta UU Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, dinilai tidak sejalan dengan nafas dan ideologi lantaran masih berkiblat pada sistem hukum Belanda.

“Sangat rancu dan akan sulit bila hukum materiilnya sudah menggunakan hukum Islam tetapi hukum formilnya masih copy paste dari hukum Belanda. Dua sistem hukum itu jauh berbeda seperti bumi dan langit. Dalam hukum Islam ada cita-cita luhur yang ingin dicapai yang disebut maqhasidus syari’ah yakni cita hukum yang melampaui batas formalisme, sistem hukum Belanda tidak mengenal itu,” paparnya.

Mustolih sungguh menyayangkan kondisi ini mengingat perkembangan ekonomi syariah yang begitu pesat di Indonesia. Misalnya saja yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bursa Efek Indonesia (BEI), serta Bank Indonesia (BI). Ketiganya banyak sekali mengeluarkan produk berupa aturan menyangkut regulasi tentang tata aturan sistem bisnis syariah.

Selain mereka, lanjut Mustolih, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) juga banyak mengeluarkan sejumlah fatwa terkait dengan ekonomi syariah. Oleh karenanya, Mustolih berharap dengan diterbitkannya KHAES akan memberi kepastian hukum kepada masyarakat yang menggunakan sistem ekonomi atau bisnis syariah.

“Makin cepat hukum acara terbit makin baik. Sebaliknya, jika Ketua MA berlama-lama akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan persoalan baru,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait