Pembenahan Korupsi Lembaga Peradilan Lewat Pengawasan MA
Berita

Pembenahan Korupsi Lembaga Peradilan Lewat Pengawasan MA

Badan Pengawasan dipisahkan dari Sekretariat MA dan ditingkatkan menjadi semacam Inspektorat Jenderal yang melapor langsung kepada Ketua Mahkamah Agung, dengan kedudukan sejajar seperti Sekretaris MA dan Panitera pengadilan.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Gilles Blanchi (paling kanan) dan Christophe Bahuet (kedua dari kiri). Foto: NNP
Gilles Blanchi (paling kanan) dan Christophe Bahuet (kedua dari kiri). Foto: NNP
Terjeratnya sejumlah hakim dan seorang panitera di Pengadilan Negeri Kepahiang, Bengkulu dalam dugaan kasus korupsi membuat kondisi peradilan di Indonesia semakin memprihatinkan. Ditambah lagi, khalayak dikejutkan dengan penyitaan uang miliaran rupiah dari penggeledahan rumah Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi beberapa waktu lalu semakin menambah daftar panjang personel pengadilan yang diduga terjerat kasus korupsi.

Mengutip data dari Koalisi Masyarakat Pemantau Peradilan per April 2016, tercatat ada 27 kasus di KPK yang melibatkan personel MA. Chief Technical Advisor/Program Manager EU-UNDP-SUSTAIN Project, Gilles Blanchi mengatakan bahwa kondisi peradilan di Indonesia mesti dikembalikan kepada keadaan semula. Ia khawatir jika keadaan seperti itu dibiarkan berlarut-larut, kepercayaan masyarakat terhadap institusi pengadilan akan semakin tergerus. Pasalnya, kepercayaan tidak muncul lantaran ‘didesain’ melainkan muncul karena institusi tersebut yang membangunnya.

“Kalau tidak percaya pengadilan, orang tidak akan lagi gunakan pengadilan nantinya,” ujarnya dalam diskusi panel “Transparansi dan Akuntabilitas Pengadilan dalam Memberikan Keadilan” di kampus pascasarjana UI Salemba Jakarta, Kamis (9/6).

Salah satu bukti pencari keadilan mulai tidak percaya dengan pengadilan, kata Gilles, banyaknya pihak berperkara yang melakukan upaya hukum banding hingga kasasi terhadap putusan pengadilan pada tingkat pertama. Kondisi yang demikian itu tidak bisa terus dibiarkan karena MA akan kehilangan peranan utama sebagai ‘penjelas hukum’ terhadap pencari keadilan.

Menurut Gilles, yang wajib dilakukan oleh MA adalah kembali menggaungkan MA sebagai lembaga peradilan yang independen. Pertama, MA mesti menunjukkan kembali akuntabilitas sebagai lembaga peradilan yang independen. Tanpa akuntabilitas terutama dari para hakim, tidak akan mungkin terwujud peradilan yang independen. Kunci pentingnya berada pada bagian pengawasan di internal MA.

Kedua, akuntabilitas di internal MA mesti dijamin oleh akuntabilitas dari eksternal MA. Akuntabilitas eksternal merupakan tanggung jawab dari  Komisi Yudisial (KY). Meski secara kewenangan terdapat keterbatasan, peran KY dalam menjamin akuntabilitas internal lembaga peradilan tetap penting. Badan Pengawasan bertugas untuk memastikan akuntabilitas di internal, sementara, KY menjamin akuntabilitas eksternal. Kedua mekanisme pengawasan ini sangatlah penting untuk mencapai tata kelola lembaga peradilan yang baik.

“Kami berharap bahwa situasi yang terjadi baru-baru ini tentang kasus korupsi yang melibatkan beberapa staf pengadilan, hakim dan non-hakim, dapat menarik perhatian kedua institusi tersebut agar bekerja sama untuk menyelesaikan permasalahan,” sebutnya.

Lebih lanjut, fungsi pengawasan pengadilan, baik yang internal maupun eksternal, adalah dua unsur penting untuk mengambil kepercayaan masyarakat. Masyarakat Indonesia, terutama pencari keadilan akan menghormati sistem peradilan saat mereka melihat bukti bahwa sistem peradilan Indonesia telah transparan, adil, konsisten dan diawasi secara efisien. Secara bersamaan, akuntabilitas juga mengisyaratkan adanya re-organisasi dari bagian pengawasan MA.

Untuk itu, perlu dilakukan restrukturisasi pada susunan organisasi. Pengorganisasian ulang tersebut perlu ‘memisahkan’ Badan Pengawasan dari Sekretariat MA dan ditingkatkan menjadi semacam Inspektorat Jenderal yang melapor langsung kepada Ketua Mahkamah Agung, dengan kedudukan sejajar seperti Sekretaris MA dan Panitera pengadilan.

Menurutnya, restrukturisasi ini akan membuat Badan Pengawasan melakukan fungsinya secara independen. Ia yakin jika hal ini dilakukan dan ditambah dengan kerjasama yang konstruktif dengan supervisi eksternal dari KY, maka akan tercipta sistem “check and balances” yang akan membuat MA kembali mendapatkan kredibiltas dan kepercayaan para pencari keadilan.

“Perkembangan teknologi tentu saja memegang peranan penting untuk memperbaiki situasi saat ini, meningkatkan transparansi dan meminimalisir kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan. Namun, ini akan menjadi sia-sia jika mereka yang ditugaskan memimpin institusi ini tidak menunjukkan determinasi mereka untuk meningkatkan kualitas peradilan demi 250 juta masyarakat Indonesia,” tutupnya.

Di tempat yang sama, Country Director UNDP Indonesia, Christophe Bahuet menjelaskan bahwa untuk menunjang integritas dan akuntabilitas di MA, perlu dibangun struktur dan prosedur terutama untuk personel pengadilan. Mekanisme yang berintegritas dari institusi peradilan perlu diterapkan, terutama standar normatif untuk para hakim dan staf pengadilan, seperti code of conduct dan struktur untuk memonitor kepatuhan dan menghukum pelanggaran, seperti KY.

Sebagai contoh, di beberapa negara Eropa, semisal Austria, Belgia, Perancis, dan Jerman, pengaturan mengenai keputusan tentang status para hakim mulai dari rekrutmen hingga pensiun berada pada Ketua Pengadilan, Komisi Yudisial, atau lembaga ad hoc yang memiliki perwakilan dari unsur hakim, dan Departemen Kehakiman. Namun, di negara Eropa lainnya seperti Italia dan Spanyol diatur sebaliknya yakni secara sentralistik oleh KY yang biasanya terdiri dari perwakilan hakim, masyarakat, pengacara, hingga akademisi.

“Pemangku kepentingan lain, seperti asosiasi hakim, pengguna jasa peradilan, serta masyarakat yang lebih luas memiliki peranan dalan mempromosikan akuntabilitas di sektor peradilan,” katanya.

Terpisah, Koordinator Bantuan Hukum Yayasan Lembaga Bantua Hukum Indonesia (YLBHI), Julius Ibrani mengatakan bahwa persoalan besar yang dihadapi MA adalah terkait buruknya sistem manajemen perkara. Ia mencatat, satu perkara mesti melalui 27 tahap pada birokrasi di MA. Dimana, rata-rata MA membutuhkan waktu sekitar 256 hari untuk menyelesaikan satu perkara. Menurut Julius, salah satu penyebab panjangnya mata rantai birokrasi di MA pasca diterbitkanya Keputusan Sekretaris MA di tahun 2005-2006 yang intinya melibatkan banyak bidang di internal MA dalam menangani perkara.

Julius mengusulkan semestinya pengurusan berkas perkara cukup ditangani oleh bagian kepaniteraan agar birokrasi tidak begitu panjang. Sebab, dari beberapa pengalaman dengan YLBHI, proses birokrasi yang panjang berdampak pada penanganan perkara ke persidangan menjadi terlalu lama. Hal itu dialami YLBHI ketika mendaftarkan uji materi terhadap Peraturan Menteri Perindustrian tentang Rokok ke MA sekira April 2016 lalu. hingga saat ini, YLBHI belum bisa mendapat nomor perkara dan anggota majelis yang memeriksa perkara tersebut.

“Padahal semakin panjang birokrasi membuka ruang besar untuk terjadinya korupsi,” singkatnya.
Tags:

Berita Terkait