Beberapa Perbedaan Proses Eksekusi Hukuman Mati Jilid I - Jilid III
Berita

Beberapa Perbedaan Proses Eksekusi Hukuman Mati Jilid I - Jilid III

Bila di tahun sebelumnya Kejagung terbuka memberikan informasi kepada publik, kali ini Kejagung dinilai menutup-nutupi kapan eksekusi mati akan dilakukan.

ANT/Mohamad Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Kejaksaan Agung (Kejagung) dibantu personel Satuan Brimob Polri telah mengeksekusi mati empat orang narapidana kasus narkoba di Lapangan Tembak Tunggal Panaluan, Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, Jumat (29/7) dini hari. Meski demikian, jumlah terpidana mati yang dieksekusi berubah dari rencana semula, yakni 14 terpidana menjadi empat terpidana.

Keempat terpidana mati yang menjalani eksekusi tersebut adalah Freddy Budiman (Warga Negara Indonesia), Michael Titus Igweh (Warga Negara Nigeria), Humprey Ejike (Warga Negara Nigeria), dan Gajetan Acena Seck Osmane (Warga Negara Senegal). Usai diekskusi, jenazah Freddy dibawa ke Surabaya, Humprey dikremasi di Banyumas, sedangkan dua lainnya dikembalikan ke Nigeria.

Eksekusi mati kali ini sering disebut eksekusi mati jilid III karena sudah ketiga kalinya dilakukan semasa pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan Jaksa Agung Muhammad Prasetyo. Eksekusi terpidana mati kali ini berbeda dari eksekusi tahun-tahun sebelumnya. Jika pada jilid III, jumlah napi yang dieksekusi mati berjumlah empat orang, maka di jilid II (29 April 2015) berjumlah delapan orang dan jilid I (18 Januari 2015) sejumlah enam orang.

Menjelang eksekusi mati jilid II, terpidana mati Mary Jane Veloso (warga Filipina) lolos dari eksekusi di detik-detik akhir eksekusi mati dengan alasan masih ada proses hukum lain di negara asalnya. Sedangkan di jilid III, sebanyak 10 terpidana mati lolos dari hadapan regu tembak. (Baca Juga: Para Terpidana Telah Dieksekusi Mati)

Terkait belum dilaksanakannya eksekusi terhadap 10 terpidana lainnya yang semula sudah disiapkan, Jaksa Agung Prasetyo dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (29/7) mengemukakan, menjelang eksekusi Jaksa Agung Muda Pidana Umum melaporkan adanya persoalan yuridis dan non yuridis yang menyebabkan eksekusi terhadap mereka ditangguhkan.  Namun, ia tidak menyebutkan maksud persoalan yuridis dan non yuridis tersebut yang menjadi dasar belum dilaksanakannya eksekusi terhadap 10 terpidana narkoba itu.

"Penangguhan itu untuk harus diteliti, saya terima hasil keputusan penangguhan, perlu dilakukan. Nanti akan ditentukan kemudian," kata Prasetyo.(Baca Juga: 8 dari 14 Terpidana Mati Belum Terima Kabar Soal Permohonan Grasi)

Oleh karena itu, ia meminta semua pihak yang tidak setuju harap bisa memakluminya. Penangguhan itu, katanya, juga karena memperhatikan masukan dan melakukan pertimbangan matang.Sedangkan pertimbangan terhadap empat terpidana yang dieksekusi, ia menjelaskan karena tindak kejahatannya bersifat masif sembari memperhatikan pertimbangan dari sisi yuridis dan nonyuridis.

Perbedaan proses eksekusi mati dari Jilid I sampai Jilid III bukan di situ saja. Bila di tahun sebelumnya Kejagung terbuka kepada publik, kali ini Kejagung dinilai menutup-nutupi kapan eksekusi mati akan dilakukan. Kejagung di Jakarta sama sekali tidak memberikan informasi resmi pelaksanaan eksekusi, baik Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, M Rum dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum) Noor Rochmad yang belakangan diketahui tengah berada di lokasi eksekusi tersebut. Terkait hal ini, Prasetyo meminta maaf.

Dia mengatakan eksekusi telah dilaksanakan di Lapangan Penembakan Tunggal Panaluan, Nusakambangan, tempat itu paling ideal. Proses eksekusi itu sendiri tidak ada hambatan dan gangguan, selain persoalan cuaca yang tidak bersahabat karena hujan lebat, maka eksekusinya mundur dari jadwal semula pukul 00.00 WIB.

"Maaf terkesan menutup akses karena saya menghendaki eksekusi berjalan tertib, aman lancar," kata Prasetyo.

Akhir Perjalanan Freddy Budiman
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum), Noor Rachmad, mengatakan pertimbangan pelaksanaan eksekusi hukuman mati tersebut karena perbuatan terpidana termasuk masif dalam mengedarkan narkoba. (Baca Juga: 28 Tahap Pelaksanaan Eksekusi Pidana Mati)

“Freddy Budiman semua orang tahu bagaimana dalam peredaran narkoba, semua orang tahu bagaimana peredaran narkoba selama ini yang bersangkutan diputuskan hukuman mati,” kata Noor.

Terkait terpidana mati Freddy Budiman, ia mengingatkan bahwa putusan Mahkamah Agung (MA) atas kasasi Freddy Budiman juga hukuman mati. Kemudian, yang bersangkutan tidak pernah mengajukan grasi kepada Presiden karena haknya sudah gugur lantaran lewat waktu. Selain itu, selama di Lapas yang bersangkutan masih mengendalikan peredaran narkoba.

Seperti diketahui, jejak kejahatan narkoba Freddy Budiman menjadi pusat perhatian saat seorang model majalah pria dewasa menceritakan Freddy mendapatkan ruangan mewah di LP Cipinang yang berujung pada pencopotan Kalapas Cipinang Thurman Hutapea.

Pria kelahiran Surabaya 19 Juli 1976 yang menjadi bandar narkoba kelas internasional itu, divonis mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat terkait mengimpor 1.412.476 butir ekstasi dari Tiongkok pada Mei 2012.

Dia pernah ditangkap pada 2009 karena memiliki 500 gram sabu-sabu. Saat itu, divonis tiga tahun dan empat bulan. Feddy kembali berurusan dengan aparat pada 2011. Saat itu, dia kedapatan memiliki ratusan gram sabu-sabu dan bahan pembuat ekstasi. Ia menjadi terpidana 18 tahun karena kasus narkoba di Sumatera dan menjalani masa tahanannya di Lapas Cipinang. Modus yang dilakukannya dengan memasukan ke dalam akuarium di truk kontainer.

Tags:

Berita Terkait