Produsen Kemasan Makanan Berbau Pornografi Bisa Dijerat Pasal Ini
Utama

Produsen Kemasan Makanan Berbau Pornografi Bisa Dijerat Pasal Ini

Jika terbukti melanggar UU Pornografi, pengurus perusahaan bisa dikenakan sanksi pidana, sedangkan perusahaan bisa dicabut izin usahanya.

Oleh:
FAT/ANT
Bacaan 2 Menit
Foto: timlo.net
Foto: timlo.net
Makanan ringan yang diduga kemasannya mengandung muatan pornografi, mulai beredar di masyarakat. Fenomena ini semakin menuntut kewaspadaan orang tua dalam mengawasi anak-anaknya yang jajan di toko daring. Makanan ringan itu dijual melalui akun instagram @bikini_snack dengan harga satuannya Rp15 ribu.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri menegaskan bahwa makanan ringan yang kemasannya dibalut dengan nama “Bikini (Bihun Kekinian)” itu telah melanggar UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Sedangkan terkait adanya logo “Halal” dalam kemasan makanan itu, Ketua Bidang Perekonomian dan Produk Halal MUI Jawa Barat, Mustafa Djamaludin, menyatakan tidak ada sertifikat halal yang dikeluarkan pihaknya untuk produk bermerek Bikini.

Ketegasan serupa juga diutarakan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, makanan ringan yang dijual secara daring itu ilegal karena tidak ada kode produksi, nomor registrasi dan tanggal kedaluwarsa. Selain terdapat gambar wanita mengenakan bikini, di kemasan makanan ringan itu juga terdapat tulisan “remas aku”. (Baca Juga: Waspada! Produk Makanan Ringan Mengandung Pornografi Beredar)

Berdasarkan penelusuran hukumonline, jika dilihat dari UU Pornografi, setidaknya sanksi pidana maupun administrasi dimungkinkan bisa dijerat terhadap pengusaha maupun korporasi pembuat makanan ringan itu. Namun, sanksi ini baru bisa diterapkan apabila produsen makanan ringan itu terbukti melanggar sejumlah pasal di UU Pornografi.

Dalam UU disebutkan, yang dimaksud dengan pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan atau pertunjukan di muka umum yang membuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

Sebut saja Pasal 29 UU Pornografi yang menyatakan bahwa setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan atau menyediakan pornografi sebagaimana dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp250 juta dan paling banyak Rp6 miliar.

Pasal 4 ayat (1) UU yang sama menyebutkan, kegiatan memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan atau menyediakan pornografi antara lain, persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang. Kekerasan seksual, masturbasi atau onani, ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, alat kelamin atau pornografi anak.

Dalam penjelasan pasal, yang dimaksud “mengesankan ketelanjangan” adalah suatu kondisi seseorang yang menggunakan penutup tubuh, tetapi masih menampakkan alat kelamin secara eksplisit. (Baca  Juga: Polisi Ciduk Pria Terkait Tweet Pornografi Menghina Presiden)

Selain perorangan yang bisa dijerat, UU Pornografi juga membuka peluang untuk korporasi maupun pengurusnya. Jika korporasi terbukti melanggar pasal yang ada di UU Pornografi, maka penjatuhan pidana bisa dilakukan terhadap pengurusnya. Untuk korporasi sendiri, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, sanksi pidana denda terhadap korporasi bisa dijatuhkan dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan tiga dari pidana denda yang ditentuan dalam setiap pasal yang dimaksud.

Selain itu, untuk korporasi juga terbuka peluang dikenakan pidana tambahan. Ada empat pidana tambahan yang dapat dijatuhkan jika korporasi terbukti melanggar UU Pornografi. Mulai pembekuan izin usaha, pencabutan izin usaha, perampasan kekayaan hasil tindak pidana dan pencabutan status badan hukum.
Tags:

Berita Terkait