Testimonium de Auditu di Vonis Ahok
Berita

Testimonium de Auditu di Vonis Ahok

Majelis hakim menilai hal ini sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang memperluas definisi saksi.

Oleh:
NEE
Bacaan 2 Menit
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok selaku terdakwa kasus penistaan agama saat menjalani sidang pembacaan putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (9/5).
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok selaku terdakwa kasus penistaan agama saat menjalani sidang pembacaan putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (9/5).
Majelis hakim yang mengadili Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengakui sahnya laporan para saksi kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta itu. Dalam putusannya, majelis merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU.VII/2010 yang memperluas makna saksi, testimonium de auditu saksi pelapor sebagai dasar mengadili perkara Ahok.

Akibatnya, Ahok divonis bersalah melanggar Pasal 156 a huruf a KUHP dan dijatuhi hukuman dua tahun penjara. Majelis pun menetapkan agar Ahok ditahan. Usai persidangan, Ahok dibawa oleh jaksa ke Rumah Tahanan Klas I Cipinang, Jakarta Timur. Kemudian, Ahok pun dipindahkan ke Rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok.

(Baca Juga, Putusan, Penahanan Ahok dan Masa Transisi Peradilan)

“Menimbang bahwa pendapat pengadilan mengenai kesaksian para saksi pelapor teresebut adalah sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 65/PUU.VIII/2010 tanggal 8 Agustus 2011,…dengan demikian arti penting saksi bukan terletak pada apakah dia melihat, mendengar, atau mengetahui sendiri suatu peristiwa pidana melainkan pada relevansi kejadiannya dengan perkara pidana yang sedang diproses,” ucap hakim anggota Abdul Rosyad saat membacakan putusan.

(Baca Juga: MK ‘Rombak’ Definisi Saksi dalam KUHAP)

Persoalan 11 saksi pelapor kasus dugaan penodaan agama ini pernah dipermasalahkan oleh tim penasihat hukum Ahok. Pengacara menilai, para saksi pelapor tersebut bukanlah saksi fakta yang melihat dan mendengarkan langsung di lokasi kejadian, khususnya saat Ahok berpidato di Kepulauan Seribu akhir tahun lalu.

Menurut tim penasihat hukum Ahok, para pelapor tersebut hanya mengetahui perbuatan Ahok melalui rekaman video di kanal media sosial YouTube milik Pemprov DKI Jakarta, berita di stasiun TV ataupun penggalan rekaman yang beredar di media sosial lainnya. Berdasarkan KUHAP, keterangan yang diperoleh dari orang lain itu disebut sebagai testimonium de auditu.

“Pengadilan berpendapat bahwa penolakan penasehat hukum terhadap kesaksian para saksi pelapor tersebut adalah tidak beralasan dan harus dikesampingkan,” sambung Abdul Rosyad.

(Baca Juga: Merujuk Kovenan Internasional, Pengacara Ahok Tolak Semua Keterangan Ahli MUI)

Sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU.VIII/2010 yang dibacakan pada 8 Agustus 2011 lalu, KUHAP hanya menerima saksi yang melihat, mendengar, dan mengalami sendiri suatu perkara pidana. Dengan adanya pengakuan atas testominium de auditu para pelapor kasus Ahok yang telah menarik perhatian masyarakat ini akan menguatkan kemungkinan bagi tiap orang yang mengetahui terjadinya suatu peristiwa pidana meskipun tidak menyaksikan langsung di tempat kejadian perkara.

Terkait hal ini, ahli hukum pidana dari UII Yogyakarta, Mudzakkir saat menyampaikan keahliannya di persidangan ke-11 menilai, bahwa keabsahan saksi pelapor dilihat dari kasus per kasus. Untuk kasus Ahok, Mudzakkir membenarkan para pelapor yang mendasarkan dugaan penodaan agama sejak mulai mengetahui dari rekaman-rekaman yang dilihat sendiri. Karena dalam kasus penodaan agama, yang menjadi permasalahan adalah perbuatannya yang bisa saja dalam bentuk tulisan ataupun rekaman suara serta gambar.

(Baca Juga: Ahli Pidana Ini ‘Perkuat’ Dakwaan Jaksa Terhadap Ahok)

“Sah saja yang mana kalau kepentingan mereka itu terganggu, terlanggar, atau menjadi korban daripada ucapan perbuatan atau tulisan atau mungkin rekaman yang dipublikasi tadi, sehingga kalau dia melaporkan terjadinya tindak pidana sumbernya bukan live/langsung pada ikut serta dalam proses yang aslinya, tapi bisa juga dari hasil rekamannya,” jelas Mudzakkir saat itu. “Syaratnya jaminan orisinalitas antara yang terpublikasi dengan sumber yang aslinya,” tegasnya.

Pada persidangan ke-10 rekaman pidato Ahok telah diverifikasi ahli digital forensik Mabes Polri sebagai rekaman orisinal tanpa manipulasi apapun. Bahkan Ahok sendiri mengakui bahwa keseluruhan rekaman yang dijadikan bahan laporan kasusunya adalah benar dilakukannya saat berpidato di tempat kejadian perkara.

Dari seluruh saksi pelapor Ahok sama sekali tidak ada yang hadir saat pidato tersebut terjadi. Para saksi mengaku awalnya mengetahui beredarnya penggalan video pidato Ahok yang menynggung surat Al Maidah ayat 51. Para saksi ini kemudian memeriksa langsung ke rekaman di akun YouTube yang bersumber dari unggahan Biro Humas Pemprov DKI Jakarta di akun YouTube resminya. Atas dasar inilah para saksi melapor ke Kepolisian di berbagai lokasi masing-masing. Saksi pelapor ada yang berasal dari laporan di kantor polisi Bogor, Sumatera Utara, Sulawesi, dan Jakarta.
Tags:

Berita Terkait