Perppu Akses Informasi Pajak Potensial ‘Tabrak’ Sejumlah UU
Berita

Perppu Akses Informasi Pajak Potensial ‘Tabrak’ Sejumlah UU

Di sisi lain, kebijakan ini dinilai menguntungkan Indonesia dalam rangka mendapatkan data warga Indonesia yang menyimpan dananya di negara lain (anggota OECD) dan data perpajakan domestik.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Perppu Akses Informasi Pajak Potensial ‘Tabrak’ Sejumlah UU
Hukumonline
Pemerintahan Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan atau dikenal Automatic Exchange of Information (AEoI). Perppu ini memberi akses luas terhadap otoritas perpajakan dalam rangka menerima dan memperoleh informasi kepentingan perpajakan. Namun, Perppu ini dianggap kalangan DPR menyisakan masalah.

Anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan berpandangan terbitnya Perppu ini karena adanya keadaan mendesak atau memaksa seperti disyaratkan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Persoalannya, kata Heri, apakah hanya karena komitmen terhadap perjanjian internasional dapat dikualifikasi sebagai situasi genting yang memaksa atau sebaliknya. Karena itu, dia meminta Menteri Keuangan menjelaskan esensi kegentingan memaksa atas terbitnya Perppu ini

“Apanya yang genting dan memaksa?” ujarnya melalui keterangan tertulis di Komplek Gedung Parlemen, Jumat (19/5/2017).

Menurut Heri, kewenangan Direktur Jenderal Pajak (DJP) dalam Perppu yang dapat mengakses informasi keuangan di lembaga jasa keuangan, seperti perbankan, perasuransian, dan entitas jasa keuangan lain “menabrak” prinsip kerahasiaan bank. Hal ini melanggar Pasal 40 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang menjamin setiap data nasabah dilindungi kerahasiaannya oleh pihak bank.

“Ini kan jadi masalah. Peraturan perundang-undangan menjadi kacau dan tumpang tindih,” kata dia.

Selain itu, Perppu ini dinilai potensial menabrak sejumlah peraturan perundangan lain. Pertama, UU No.16 Tahun 2009 tentang Penetapan Perppu No. 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi UU (UU KUP).  

Ia merujuk Pasal 34 ayat (1) UU KUP yang menyebutkan, “Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.” (Baca Juga: OJK: Perppu AEoI Juga Berlaku Buat Nasabah Domestik)

Seperti misalnya, memberitahukan Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain-lain yang dilaporkan oleh Wajib Pajak, data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan, dokumen dan atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia. Kemudian dokumen dan atau rahasia Wajib Pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kedua, UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, khususnya Pasal 41. Pasal 41 menyebutkan, “Bank dan Pihak terafiliasi wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya serta Nasabah Investor dan Investasinya”. Ketiga, UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasal Modal. Perppu ini juga dinilai menabrak Pasal 96 UU Pasar Modal.

Pasal 96 UU Pasar Modal menyebutkan, “Orang dalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 dilarang: a) mempengaruhi pihak lain untuk melakukan pembelian atau penjualan atas Efek dimaksud; atau b) memberi informasi orang dalam kepada Pihak manapun yang patut diduganya dapat menggunakan informasi dimaksud.”

Menurutnya, menjadi dilema bagi aparatur perbankan, pajak dan pasal modal dalam menjalankan kebijakan pertukaran informasi perpajakan ini. Hal ini bisa jadi bakal menimbulkan ketidakpastian yang berujung keragu-raguan dalam mengeksekusi akibat terjadinya tumpang tindih peraturan perundangan yang ada. (Baca Juga: Pemerintah Terbitkan Perppu Akses Informasi untuk Perpajakan)

Politisi Partai Gerindra itu berpendapat bila Perppu bertujuan bagi perpajakan domestik, umumnya diatur dalam peraturan perundangan bidang perbankan atau perpajakan. Misalnya, mengharuskan pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.

“Jadi untuk apa Perppu itu dibuat? Toh, keadaan genting yang memaksa sebetulnya tidak ada. Jangan sampai terbitnya Perppu ini hanya akan memunculkan kegaduhan baru yang ditafsirkan bentuk kecemasan dan kepanikan pemerintah,” kata dia.

Baginya, kerahasiaan bank merupakan prinsip krusial yang telah sudah diterapkan puluhan tahun di dunia perbankan nasional, sehingga masyarakat pun memberikan kepercayaan penuh kepada pihak bank. Sebaliknya, terbitnya Perppu ini justru bisa menimbulkan kekhawatiran dan berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat yang menitipkan uang di bank sebagai ancaman capital outflow (modal masuk dari masyarakat).

“Justru, Perppu ini bukannya jadi solusi, malah bisa menjadi (timbul) masalah baru,” tegasnya.

Menguntungkan Indonesia
Pandangan berbeda disampaikan anggota Komisi XI DPR lain, Mukhamad Misbakhun. Dia menilai terbitnya Perppu Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan sudah tepat. Sebab, melalui Perppu ini, Ditjen Pajak dapat memiliki akses tanpa batas informasi yang berhubungan dengan data rekening nasabah perbankan dan lembaga keuangan lain.

Dia menerangkan terbitnya Perppu No. 1 Tahun 2017 berkaitan dengan perjanjian pertukaran informasi keuangan otomatis atau Automatic Exchange of Financial Account Information (AEoFAI) yang digalang negara-negara anggota Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) termasuk Indonesia. Saat bersamaan, Perppu ini sekaligus modal bagi aparat pajak untuk mengejar target pendapatan negara melalui pajak.

“Perppu yang diterbitkan Presiden Jokowi ini dalam rangka meningkatkan potensi penerimaan negara dari pajak dan meningkatkan tingkat kepatuhan wajib pajak,” ujarnya. 

Misbakhun melanjutkan adanya Perppu ini memudahkan negara dalam memberikan data nasabah warga negara asing yang tergabung dalam AEoFAI secara otomatis. Kata lain, bagi setiap nasabah asing yang menyimpan uang di Indonesia menjadi kewajiban pemerintah memberikan data/informasi ke negara asal nasabah asing yang bersangkutan.

Menurutnya, kebijakan ini tentu menguntungkan Indonesia dalam rangka mendapatkan data warga Indonesia yang menyimpan dananya di negara lain (anggota OECD). Apalagi, terdapat beberapa negara yang masuk kategori tax heaven (surga bagi pengemplang pajak). Dia berharap dengan Perppu ini, semakin banyak pajak yang dapat dipungut yang ujungnya mengurangi ketimpangan ekonomi. (Baca Juga: Aturan Turunan Perppu AEoI Akan Atur Sanksi Penyalahgunaan Data Keuangan)

Namun, bagi Heri terbitnya Perppu ini tetap memunculkan dilema bagi institusi perbankan dalam melaksanakan prinsip-prinsip perbankan. Sebab, pihak perbankan terikat dengan prinsip kerahasian bank. Selain itu, ada ancaman hukuman bagi pihak bank yang tidak memberikan data nasabah untuk kepentingan perpajakan yakni sanksi hukuman kurungan badan selama 1 tahun atau denda Rp1 miliar.

Persoalan lain, kata Heri, masih ada kendala institusional yakni, tak ada standar tertentu yang dapat dijadikan pedoman ketika mengabulkan permohonan pembukaan kerahasiaan bank. Hal ini dimungkinkan perbedaan pendapat antara pihak otoritas perpajakan dengan institusi terkait.

“Pemerintah tetap perlu hati-hati saat meng-compare dan saling tukar informasi keuangan. Ini juga wujud prinsip kehati-hatian secara penuh agar kita bisa terhindar dari kepentingan yang justru merugikan kepentingan nasional,” pungkasnya.

Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad mengatakan, terbitnya Perppu ini menjawab kekhawatiran industri jasa keuangan terkait upaya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam mengakses data transaksi keuangan nasabah sektor jasa keuangan. Muliaman menjamin nasabah tetap merasa nyaman karena data keuangan yang dilaporkan (diakses) otoritas pajak tidak akan disalahgunakan.

“Sekarang mulai jelas. Dulunya banyak yang khawatir, banyak yang curiga. Dengan komunikasi dan sosialisasi yang baik, mudah-mudahan semakin jelas bahwa ini kesepakatan global dari negara kita,” kata Muliaman saat diwawancarai di gedung BEI Jakarta, Kamis (18/5).
Tags:

Berita Terkait