Pemerintah Diminta Pertimbangkan Dampak Perppu Akses Informasi Pajak
Berita

Pemerintah Diminta Pertimbangkan Dampak Perppu Akses Informasi Pajak

Asuransi dan koperasi sebaiknya tidak menjadi sasaran awal dari pelaksanaan Perppu 1/2017.

Oleh:
FNH/ANT
Bacaan 2 Menit
Foto: NNP
Foto: NNP
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2017tentang Akses Informasi Data Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan sudah diterbitkan oleh pemerintah. Perppu ini memberikan akses kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengkases data perbankan yang selama ini wajib dirahasiakan oleh lembaga jasa keuangan. Tujuannya adalah sebagai salah satu syarat bagi Indonesia untuk berpartisipasi dalam AEoI.

Terbukanya data perbankan (nomor rekening dan saldo) bisa menjadi potensi masalah baru di sektor perbankan. Meski asosiasi perbankan sepakat mendukung langkah pemerintah ini, namun asosiasi juga memberikan catatan. Terutama menyoal keamanan dan jaminan data yang didapatkan tidak disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati, mengatakan selain adanya jaminan keamanan atas data-data nasabah yang diperoleh DJP, pemerintah juga harus mempertimbangkan secara matang terkait dampak Perppu terhadap upaya mendorong inklusi keuangan, dan upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui kredit perbankan.

“Kehadiran Perppu ini jangan sampai menjadi disinsentif bagi masyarakat untuk menyimpan dananya di perbankan, sehingga harapan pemerintah untuk mengurangi transaksi secara tunai tidak tercapai,” kata Enny dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (8/6). (Baca Juga: Pengamat Kritik Batas Minimum Rekening yang Wajib Dilaporkan)

Di samping itu, Enny juga mengkhawatirkan turunnya Dana Pihak Ketiga (DPK). Pasalnya, pemilik dana besar akan mengalihkan dananya keluar sehingga terjadi capital outflow dan akan mengganggu likuiditas. Implikasinya akan terjadi penurunan laju kredit dan mengerek suku bunga.

Bahkan, Perppu 1/2017 juga berpotensi terjadinya migrasi dana yang umumnya diarahkan kepada aset yang tidak produktif seperti emas dan properti. Kebijakan ini, lanjut Enny, juga berpotensi menyebabkan ketimpangan likuiditas antar bank semakin tinggi. Hal ini mengingat pasca penerapan tax amnesty, likuiditas bank-bank yang tidak menjadi bank persepsi cenderung menurun. Apalagi, munculnya Perppu ini yang akan menyebabkan adanya shifting dari bank kecil ke bank besar sebagai upaya antisipasi risiko.

Mempertimbangkan hal-hal di atas, maka guna menjaga agar pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak terganggu, dan implikasi negative dari dikeluarkannya Perppu 1/2017 bisa dieliminir, pemerintah diminta untuk melakukan sosialisasi kepada aparat pajak secara memadai, karena dalam praktiknya kebijakan antar KKP banyak yang berbeda.

Kemudian, harus ada kejelasan kewenangan petugas pajak dalam menggunakan dan memanfaatkan data informasi keuangan data nasabah perbankan yang diatur secara jelas dalam UU KUP. Hal ini agar ada payung hukum dan aturan yang jelas sehingga dapat meminimalisisr terjadinya moral hazard. Selain itu, juga akan memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi nasabah.

“Perlu sosialisasi kepada seluruh lapisan masyarakat dengan lebih intens agar masyarakat dapat memahami, karena sebagian besar dari mereka mungkin sudah membayar pajak,” tambahnya. (Baca Juga: Mekanisme, Nilai Saldo, hingga Sanksi Terkait Akses Informasi Keuangan di PMK 70/2017)

Dan juga, dalam penyampaian laporan data nasabah, sebaiknya menggunakan sistem dengan satu pintu, misalnya melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Apabila data dapat diakses oleh banyak pihak apalagi jatuh ke tangan aparat yang tidak bertanggung jawab, maka data dikhawatirkan akan menjadi alat pemerasan. Selanjutnya, pemerintah juga harus meningkatkan komunikasi yang lebih baik ke seluruh lapisan masyarakat agar tidak terkesan menakut-nakuti.

Sementara itu, Pengamat Pajak Yustinus Prastowo mengaku mengapresiasi langkah pemerintah merevisi saldo minimal rekening yang wajib dilaporkan oleh lembaga jasa keuangan. Revisi ini mengindikasikan bentuk sensitivitas dan responsiveness pemerintah terhadap dinamika yang berkembang di tengah masyarakat.

“Dengan naiknya threshold, terdapat kesan kuat bahwa pemerintah mengedepankan fokus dan sasaran yang lebih jelas dan sesuai prinsip dasar pemajakan yaitu ability to pay dan who own what. Penyesuaian threshold bisa dilakukan bertahap,” kata Yustinus kepada hukumonline, Jumat (9/6).

Pembatasan nilai saldo minimal di Rp1 miliar, lanjutnya, juga membuat cost of administration lebih efisien, cost of compliance menjadi rendah, dan pemungutan pajak lebih efektif. Tentunya, kebijakan ini harus diikuti oleh sistem IT, governance, dan SDM yang lebih baik sehingga pada saat pelaksanaanya tahun depan semua sektor menjadi siap.

“Pemerintah harus fokus di sosialisasi dengan kalangan perbankan dan sektor keuangan. Serta harus menentukan skala prioritas, karena seperti asuransi dan koperasi sebaiknya tidak perlu dijadikan sasaran awal,” katanya.

Kritik Revisi PMK
Anggota Komisi XI DPR Donny Imam Priambodo berpendapat keputusan Kementerian Keuangan merevisi batasan saldo rekening wajib pajak dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2017menunjukkan pemerintah tidak berpikir panjang dalam membuat peraturan.

"Ini menunjukkan performansi kementerian terkait yang terkesan tidak serius," kata Donny.

Seperti diketahui, Kementerian Keuangan resmi merevisi batasan saldo akun rekening yang secara otomatis dapat dilaporkan dari perbankan kepada Direktorat Jenderal Pajak. (Baca Juga: Implikasi Hukum Peraturan Menteri yang Direvisi Hanya dalam Hitungan Hari)

Dalam PMK 70/2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan, sebelumnya ditetapkan batas saldo untuk rekening perbankan yang wajib dilaporkan paling sedikit Rp200 juta bagi orang pribadi, sekarang diubah menjadi Rp1 miliar.

Donny mengatakan kondisi tersebut sama dengan yang terjadi pada saat dikeluarkannya aturan tentang laporan penggunaan kartu kredit dan deposito terkait perpajakan, yang kemudian dibatalkan.

Politisi Partai Nasdem tersebut berharap pemerintah jangan terlalu mudah merevisi peraturan. "Ini akan membuat kepercayaan publik terhadap pemerintah, baik nasional maupun internasional, bisa turun. Akibatnya bisa fatal bagi kondisi investasi di Indonesia yang selama ini kita harapkan akan naik," kata dia.

Donny meminta pemerintah untuk mengkaji peraturan terlebih dahulu sebelum dikeluarkan, melalui dengar pendapat dengan akademisi atau perwakilan publik, sehingga aturan yang dihasilkan tidak memunculkan gejolak.

"Kami paham bahwa pemerintah ingin menaikkan basis data perpajakan demi menambah penerimaan negara, tapi bukan seperti ini, dengan membuat aturan-aturan yang kontra-produktif," kata Donny.

Tags:

Berita Terkait