Mencium Bahaya Deforestasi dan Bencana Ekologis di Inpres Moratorium dan Permen LHK
Berita

Mencium Bahaya Deforestasi dan Bencana Ekologis di Inpres Moratorium dan Permen LHK

Skema land swap melegitimasi keterlanjuran penerbitan izin perkebunan kayu.

Oleh:
M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Konpers WALHI. Foto: DAN
Konpers WALHI. Foto: DAN
Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Inpres No. 6 Tahun 2017 tentang Penundaan dan Penyempurnaan Tata Kelola Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Inpres ini tidak berbeda dari Inpres sebelumnya, dan dapat diprediksi bahwa tujuan utama dari Inpres ini tidak akan gagal.

Pembenahan tata kelola sumber daya alam, khususnya di hutan dan ekosistem rawa gambut tidak akan terjadi. Yang lebih penting dari itu, Inpres ini juga tidak mampu mendukung komitmen Presiden dalam mengatasi krisis lingkungan dan mengatasi ketimpangan penguasaan struktur agraria dan sumber daya alam yang selama ini sebagian besar dikuasai korporasi.

Bukannya menciutkan perizinan dan melakukan penegakan hukum, pemerintah terus memfasilitasi korporasi dengan berbagai kebijakan, seperti Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor P. 40/MENLHK/SETJEN/KUM. 1/6/2017 yang memfasilitasi land swap untuk perusahaan hutan tanaman industri dengan atas nama keterlanjuran.

Meskipun perusahaan sendiri terus merongrong pemerintah agar mereka terus mendapatkan privilege, dengan berupaya terus mereduksi kebijakan pemerintah untuk memproteksi ekosistem gambut, sehingga mereka tetap bisa menjalankan bisnisnya di kawasan gambut yang telah melanggar aturan hukum. (Baca Juga: Pengelolaan Hutan dan SDA Dituntut Transparan)

WALHI menilai bahwa dua kebijakan ini, yakni Inpres No.6/2017 maupun Permen LHK No. P.40/2017 bertentangan dengan PP 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut dan menjadi jalan melegalkan deforestasi dan semakin melanggengkan bencana ekologis. Hal itu dikatakan Kepala Departemen Kajian Pembelaan Hukum dan Lingkungan WALHI, Zenzi Suhadi, dalam jumpa pers di Sekretariat Nasional WALHI, Selasa (25/7).

Lebih lanjut, Deputi Direktur Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, Edi Sutrisno, menilai hutan alam dan ekosistem gambut akan terus diintai oleh korporasi, baik untuk ekspansi bisnisnya maupun sebagai modus untuk land banking.

“Korporasi semakin mendapatkan angin dengan pernyataan Presiden Jokowi agar tidak lagi ada aturan atau kebijakan yang menghambat investasi,” ujar Edi merujuk pada statement Presiden beberapa waktu lalu. (Baca Juga: Penegakan Hukum Sektor Kehutanan Masih Bermasalah)

“Dengan situasi seperti ini, kami khawatir bahwa Presiden semakin membawa bangsa ini pada krisis lingkungan hidup yang lebih dalam dan kesejahteraan yang dijanjikan melalui berbagai program yang dijanjikan untuk rakyat. Pada akhirnya kami juga mempertanyakan hingga tahun ketiga pemerintahan Joko Widodo, berapa izin yang sudah dicabut, untuk diserahkan kepada rakyat miskin? Berapa perusahaan perusak lingkungan yang telah dijerat hukum?,” tambah Edi.

Analisis Risiko Permen LHK
Kepada hukumonline, WALHI memaparkan sejumlah analisis resiko yang ditimbulkan dari pemberlakuan Permen LHK P. No 40 Tahun 2017. Antara lain, pertama, Kebijakan land swap dalam Peraturan Menteri LHK itu semakin mengukuhkan kekuatan dominasi korporasi terhadap penguasaan ruang. (Baca Juga: Rendah, Kualitas Pemerintah Mengelola Lingkungan Hidup)

Hal ini dikarenakan kebijakan land swap hanya merubah RKT dan RKU pada tata ruang dalam konsesi IUPHHK-HT, tidak mengurangi atau mengeluarkan kawasan fungsi lindung dari konsesi, dengan adanya penambahan lahan pengganti seluas kawasan lindung maka sesungguhnya Land Swap ini justru menambah penguasaan lahan baru atau land banking korporasi terhadap hutan di Indonesia.

Kemudian yang, kedua, Skema land swap melegitimasi keterlanjuran penerbitan izin perkebunan kayu yang dalam proses penerbitan izinnya telah melanggara kriteri yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Ketentuan tersebut secara sistematis melemahkan penegakan hukum. Ketiga, Skema land swap akan membuka peluang korporasi melakukan pemanfaatan kayu alam sebagai bahan baku industri pulp and paper yangbersumber dari lokasi land swap di kawasan hutan dengan tanah mineral.

Keempat, Skema penyelesaian konflik dengan pilihan Hutan Tanaman Rakyat tidak menguntungkan bagi masyrakat dan lingkungan karena hanya berorientasi pada pemenuhan baku industri pulp and paper. Bahkan hal ini bertentangan dengan komitment Presiden untuk mengatasi ketimpangan penguasaan lahan dan upaya struktural penanganan konflik lingkungan hidup dan agraria.

Selanjutnya Kelima, Ketiadaan syarat amdal dalam proses land swap akan memperbesar resiko terhadap lingkungan, sosial dan proses kontrol pemenuhan kewajiban hukum korporasi sesuai dengan ketentuan UU No.32 Tahun 2009.

Keenam, tanpa Amdal dengan waktu proses pemeriksaan UKL/UPL hanya 14 hari, kebijakan ini akan menambah konflik baru, dikarena wilayah yang menjadi area pengganti merupkan hutan produksi tanah mineral, sampai saat ini tanggung jawab pemerintah untuk menyelesaikan tata batas dalam penetapan status kawasan hutan belum selesai, belum melakukan konsolidasi dan identifikasi serta pengakuan keberadaan hak rakyat.

Ketujuh, tanpa Amdal dan hanya berorientasi kepada kebutuhan pelaku usaha IUPHHK-HT, kebijakan ini akan menghantarkan pemerintah kepada status baru mengganti malapetaka asap dengan meningkatnya laju deforestasi, yang berpotensi melahirkan malapetaka banjir tahunan.

Kedelapan, adanya target peningkatan kapasitas pabrik pulp sebesar 26,5% menjadi sekitar 10 juta ton. Peningkatan tersebut tentu saja akan berdampak terhadap kebutuhan bahan baku kayu. Mulai tahun ini kebutuhan bahan baku akan mencapai 45 juta meter kubik. Seperti halnya industri pulp, kapasitas produksi kertas pada 2017 juga diprediksi meningkat menjadi 17 juta ton atau naik 22,3% ketimbang 2013 yang sebanyak 13,9 juta ton.

Peningkatan kapasitas terpasang industri pulp dan kertas dalam negeri tersebut disebabkan karena kebutuhan kertas dunia yang meningkat rata-rata 2,1% per tahun. Pada 2020 kebutuhan kertas dunia diperkirakan mencapai 490 juta ton, di tengah realisasi tanam yang hanya 45 % dari rencana, maka kekurangan bahan baku akan ditutup dari pasokan kayu hutan alam. Penerbitan Permen ini tentunya menjadi basis legal bagi laju deforestasi dan pemenuhan bahan baku dari hutan alam.

Tags:

Berita Terkait