Kepercayaan Klien adalah Modal Vital Jasa Hukum Advokat
Utama

Kepercayaan Klien adalah Modal Vital Jasa Hukum Advokat

Membuka rahasia klien karena wajib lapor transaksi keuangan mencurigakan membuat advokat dalam posisi dilematis.

Oleh:
Norman Edwin Elnizar/MYS
Bacaan 2 Menit
Advokat Chandra M. Hamzah (berkemeha merah) dalam diskusi tentang rahasia jabatan vs keterbukaan informasi, Sabtu (29/9). Foto: RES
Advokat Chandra M. Hamzah (berkemeha merah) dalam diskusi tentang rahasia jabatan vs keterbukaan informasi, Sabtu (29/9). Foto: RES
Dalam hubungan pemberian jasa hukum, khususnya hubungan advokat dengan kliennya, kepercayaan (trust) adalah modal penting. Kepercayaan klien terhadap pengacaranya diikuti dengan sikap sang advokat menjaga rahasia sang klien. Rahasia itu bahkan perlu tetap dijaga hingga berakhirnya hubungan pemberian jasa.

Runtuhnya kepercayaan klien terhadap seorang advokat berimbas pada opsi lain. Klien akan mencabut kuasa dan memberikan kepercayaan kepada advokat dari firma hukum lain. Intinya, hubungan advokat dengan klien dibangun atas dasar kepercayaan. “Tanpa adanya kepercayaan, maka klien tidak akan menghubungi advokat,” kata Chandra M. Hamzah.

Advokat yang pernah menjabat komisioner KPK itu menegaskan kepercayaan adalah modal vital yang harus dipegang dalam menjalankan profesi pemberian jasa hukum. Kepercayaan menjadi ukuran keberhasilan seorang advokat. Klien yang percaya akan terus menggunakan jasa advokat tertentu. Semangat memperhatikan kepentingan klien juga terkandung dalam Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) dan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

(Baca juga: PPATK Yakinkan Notaris, Wajib Lapor Tak Langgar Rahasia Jabatan).

Pasal 19 UU Advokat menyebutkan: (1) Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari Kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang; (2) Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat. Pasal 4 huruf h KEAI menyebutkan ‘Advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara Advokat dan klien itu’.

Kini, hubungan advokat-klien, potensial terganggu karena prinsip mengenal klien dan kewajiban lapor atas transaksi keuangan mencurigakan. Kewajiban melaporkan transaksi mencurigakan dibebankan kepada advokat, notaris, perencana keuangan, akuntan publik dan profesi gatekeeper lain melalui PP No. 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam seminar nasional bertajuk Rahasia Jabatan vs. Keterbukaan Informasi yang diadakan Ikatan Alumni Notariat FH UI, Sabtu (29/7) lalu, bergaung kekhawatiran bahwa beleid Pemerintah itu tak mudah diimplementasikan. Apalagi bagi seorang advokat.

(Baca juga: Kewajiban Lapor untuk Lindungi Profesi Gatekeeper).

Penyandang profesi advokat termasuk yang tegas menolak PP No. 43 Tahun 2015. Buktinya, seorang advokat pernah mengajukan uji materi PP itu terhadap UU Advokat ke Mahkamah Agung pada pertengahan Agustus 2015. Ferdian Sutanto, advokat yang memohonkan uji materi, memandang kewajiban lapor ke PPATK, bertentangan dengan kewajiban advokat menjaga kerahasiaan klien. Namun, Mahkamah Agung menyatakan permohonan Ferdian tidak dapat diterima. Alasannya, pada saat yang sama UU Advokat lagi diuji di Mahkamah Konstitusi.

Meragukan informasi klien?
Gangguan terhadap hubungan jasa hukum advokat dengan klien bisa dilihat dari masalah lain. Sulit bagi seorang advokat langsung meragukan kebenaran informasi yang disampaikan kliennya. Jika kliennya meminta jasa advokat mengurus suatu perkara yang nilai aset dari kasus yang akan ditangani miliaran rupiah, apakah seorang advokat langsung meragukan aset kliennya bersih? Jika itu terjadi, hampir pasti klien tak melanjutkan pemberian kuasa.

Ketiadaan standar dan ukuran yang jelas tentang “meragukan kebenaran informasi” justru menyulitkan advokat. Ia bisa dipandang mengabaikan atau menelantarkan kepentingan klien atau melepaskan tugas; sesuatu yang harus dihindari seorang advokat. Meskipun dapat menolak untuk memberi nasihat dan bantuan hukum jika tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nuraninya, advokat tidak dibenarkan melepaskan tugas yang dibebankan kepadanya pada saat yang tidak menguntungkan posisi klien atau pada saat tugas itu akan dapat menimbulkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi klien yang bersangkutan. Ingat! Pasal 6 huruf a UU Advokat menegaskan advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya.

Ketua Umum DPN Perhimpunan Advokat Indonesia, Fauzie Yusuf Hasibuan, mengatakan selama ini PPTAK dan DPN Peradi sudah menjalin Komunikasi berkaitan dengan implementasi PP No. 43 Tahun 2015. Memang, tidak ada sikap resmi organisasi terhadap kewajiban itu. Yang mengemuka selama ini lebih pada tuntutan agar kewajiban lapor tak mengganggu kewajiban advokat menjaga rahasia jabatan. “Jangan sampai menyimpan rahasia klien itu terganggu,” ujarnya kepada Hukumonline, Senin (07/8).

Fauzie mengatakan jika advokat sungguh-sungguh meyakini uang diperoleh kliennya berasal dari transaksi narkoba, atau uang yang berasal dan akan digunakan untuk kegiatan terorisme, sudah selayaknya dilaporkan oleh advokat bersangkutan.
Tags:

Berita Terkait