Salah satunya adalah mengenai kekuatan pembuktian dari dokumen yang dibuat oleh notaris. Di berbagai negara yang dipengaruhi civil law dikenal adanya pembuktian tulisan yang bisa berupa akta otentik atau akta di bawah tangan. Yang disebut sebagai akta otentik adalah bukti tulisan yang bentuk, prosedur pembuatan, dan pembuatnya diatur secara khusus oleh undang-undang melalui pejabat khusus yang diberikan kewenangan membuatnya. Pejabat inilah yang disebut sebagai notaris.
Bukti tulisan berupa akta otentik yang dibuat oleh notaris ini memiliki kekuatan pembuktian yang memaksa (een dwingende bewijskracht) baik secara formil maupun materiil. Dalam kasus tertentu akta otentik juga berkekuatan eksekutorial.
Sayangnya akta otentik yang dibuat notaris hanya berlaku lokal jika akan digunakan dalam hubungan internasional. Perbedaan yurisdiksi menyebabkan tanda tangan notaris masih perlu dilegalisasi jika akta otentik hendak dipakai dalam praktek perdagangan dan hukum ke luar negeri.
(Baca juga: Perbedaan Akta yang Dibuat Notaris dan Akta yang Dibuat di Hadapan Notaris).
Legalisasi ini dilakukan untuk menjamin tanda tangan notaris benar meskipun tidak mencakup kebenaran isi aktanya. Dasar hukumnya adalah Staatsblad Tahun 1909 No. 291 tentang Legalisasi Tanda Tangan (Bepalingen nopens het legaliseeren van handteekeningen) dan UU No. 1 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik beserta Protokol Operasionalnya. Legalisasi ini berbeda dengan yang dimaksud dalam UU Jabatan Notaris.
(Baca juga: Konvensi Wina 1969 Induk Pengaturan Perjanjian Internasional).
Dalam kaitan antara peran notaris dengan EoDB (Ease of Doing Business), Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM, Freddy Harris, berjanji akan menyegerakan akta notaris Indonesia segera berlaku internasional. Caranya? Dengan meratifikasi Apostile Convention. “Tahun 2019 targetnya sudah harus semuanya online, e-notary, dan kita sudah ikut Apostile (Convention) nanti,” ujarnya.
Convention de La Hayepada 5 Oktober 1961 telah menghasilkan Hague Convention Abolishing the Requirement of Legalization for Foreign Public Documents atau yang biasa dikenal The Apostile Convention. Bagi negara yang meratifikasinya, tidak diperlukan lagi prosedur legalisasi berjenjang legalisasi. Antar negara yang telah bergabung dalam Apostile Convention dapat saling menerima akta notaris di negara mereka untuk digunakan sebagai dokumen dalam perdagangan dan hukum secara serta merta.
“Apostile itu artinya dokumen yang dikeluarkan oleh notaris se-Indonesia bisa di-recognize (diakui) oleh negara lain, selama ini jalannya panjang, ke AHU, Kemenlu, Kedutaan, sudah keburu tua orang,” kata Freddy berseloroh.
(Baca juga: 9 Standar Etika Pelayanan Notaris yang Harus Tetap Dijaga).
Haris mengatakan sudah berulang kali meminta agar Pemerintah mengurus persetujuan untuk meratifikasi The Apostile Convention. Namun persoalannya harus menunggu persetujuan Kementerian Luar Negeri. Padahal konvensi ini sendiri lama dan telah diratifikasi banyak negara seperti Belanda, Inggris, Prancis, Italia, Portugal, dan Malaysia.
Akibatnya, secara keseluruhan penggunaan dokumen dari/ke luar negeri masih mengikuti angka 70 Lampiran Peraturan Menteri Luar Negeri no.09/A/KP/XII/2006/01 tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah. Ketentuan ini mengharuskan dokumen yang digunakan ke luar negeri harus dilegalisasi notaris/instansi berwenang, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Luar Negeri, serta perwakilan negara asing (dimana dokumen akan digunakan) di Indonesia. Begitu pula sebaliknya untuk dokumen dari luar negeri dengan ditambah penggunaan materai (nagezelen) di kantor pos.
Menurut Freddy, target Pemerintah soal peringkat EoDB Indonesia juga akan terbantu dengan meratifikasi Apostile Convention. “Kalau bisa hari ini saya tanda tangan (persetujuan) Apostile, saya tanda tangan deh, karena (dengan Apostile) semuanya bisa settle dengan baik,” ujar Freddy.