Negara Bebaskan Pilihan Para Pihak dalam Sengketa Perkebunan Sawit
Berita

Negara Bebaskan Pilihan Para Pihak dalam Sengketa Perkebunan Sawit

Kehadiran negara berguna untuk mencegah jangan sampai konflik di perkebunan sawit terus terjadi.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Para pembincara diskusi publik mengenai peran negara dalam menjaga efektivitas akses terhadap pemulihan. Foto: MYS
Para pembincara diskusi publik mengenai peran negara dalam menjaga efektivitas akses terhadap pemulihan. Foto: MYS

Negara dan pemerintah tidak mempersoalkan mekanisme yang ditempuh para pihak dalam penyelesaian sengketa, termasuk sengketa dalam pembukaan dan operasional perkebunan kelapa sawit. Di satu sisi, Pemerintah hadir melalui serangkaian regulasi. Di sisi lain, pemerintah membebaskan mekanisme penyelesaian apakah mau lewat pengadilan atau melalui penyelesaian di luar pengadilan (out of court settlement).

 

Demikian antara lain pandangan yang disampaikan Ibrahim Reza, mewakili Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia dalam diskusi publik ‘Peran Negara dalam Memastikan Efektivitas Akses Terhadap Pemulihan yang Tersedia dari Sektor Privat’ di Nusa Dua Bali, Selasa (28/11). Dalam acara ini juga diluncurkan buku Hukum Adat dan Kemenangan Judisial Korban yang ditulis Siti Rakhma Mary Herwati. Buku ini memperlihatkan proses hukum yang dilalui warga di pengadilan akibat dilaporkan perusahaan sawit ke polisi.

 

Dijelaskan Ibrahim, kehadiran negara antara lain tampak pada regulasi yang dibuat. Misalnya, mengenai pilihan penyelesaian sengketa bagi warga melalui UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Terserah kepada pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka karena forum penyelesaiannya banyak, apakah bersifat mediasi atau ajudikasi. Termasuk juga RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) yang diinisiasi para pihak yang berkepentingan. “Negara memperbolehkan menyelesaikan sengketa di luar pengadilan,” ujarnya dalam forum diskusi tersebut. “RSPO mungkin punya mekanisme tersendiri,” sambungnya.

 

Kehadiran lain yang dicontohkan Ibrahim adalah ketentuan Pasal 74 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal ini mengatur tentang dana corporate social responsibility. Lewat ketentuan ini, pemerintah ingin memastikan perusahaan ‘membatasi’ perilakunya dalam menjalankan aktivitas bisnis di tengah masyarakat, termasuk petani dan masyarakat adat. Selain itu pemerintah memperlihatkan kehadiran dalam pelaksanaan putusan pengadilan atau memberikan jawaban atas konstitusional pasal yang dimohon judicial review di Mahkamah Konstitusi.

 

Pasal 74 UU Perseroan Terbatas

  1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan;
  2. Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran;
  3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

 

Lembaga Studi Advokasi dan Hak Asasi Manusia (Elsam), Sawit Watch, dan sejumlah lembaga advokasi lain sudah lama mempertanyakan kehadiran negara yang imparsial dalam banyak kasus sengketa mengenai perkebunan sawit. Mantan Ketua Komnas HAM, Nur Kholis, mengakui banyaknya pengaduan yang masuk berkaitan dengan isu perkebunan. Bahkan terungkap bahwa sekitar 70 persen pengaduan yang masuk ke RSPO berasal dari Indonesia. “Negara perlu hadir dan tidak membiarkan konflik terus terjadi,” kata peneliti Elsam, Andi Muttaqien.

 

Baca juga:

Tags:

Berita Terkait