Pendaftaran Paten Belum Optimal, Perguruan Tinggi Harus Berubah
Berita

Pendaftaran Paten Belum Optimal, Perguruan Tinggi Harus Berubah

Alumni Universitas Indonesia membentuk lembaga hukum dengan visi mewujudkan kesadaran hukum civitas academica.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Dirjen Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM, Freddy Haris, saat menyampaikan sambutan dalam acara seminar paten di Universitas Indonesia, Rabu (25/4). Foto: MYS
Dirjen Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM, Freddy Haris, saat menyampaikan sambutan dalam acara seminar paten di Universitas Indonesia, Rabu (25/4). Foto: MYS

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mempertanyakan minimnya hasil riset perguruan tinggi yang tercatat di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, padahal negara sudah menyediakan sekitar 2,4 triliun dana riset. Pendaftaran paten dari kalangan perguruan tinggi di Indonesia belum signifikan. Riset oleh universitas perlu dikembangkan melalui penelusuran-penelusuran untuk mencari dan menemukan unsur kebaruan, karena karena unsur kebaruan merupakan kunci dalam pendaftaran paten.

 

Amanat Yasonna dibacakan Dirjen Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM, Freddy Haris, saat membuka seminar ‘Urgensi Paten Menuju Universitas Berbasis Riset Sebagai Apresiasi Intelektual dan Strategi Komersial’ di Universitas Indonesia, Depok, Rabu (26/4). Menurut Yasonna, negara-negara maju selalu mengedepankan kekayaan intelektual, dan tidak ada negara maju yang menempatkan kekayaan intelektual di belakang.

 

Dalam wawancara dengan hukumonline, Freddy Haris mengingatkan pentingnya kalangan perguruan tinggi berubah. Misalnya, karya skripsi atau tesis, selama ini lebih banyak mengendap di perpustakaan meskipun seharusnya bisa didorong untuk menjadi buku. Mahasiswa fakultas teknik diarahkan melakukan riset menjelang akhir masa kuliah dan hasil risetnya diajukan sebagai paten sederhana. Demikian juga mahasiswa program studi sosial, harus bisa mengarahkan hasil risetnya untuk mendapatkan kekayaan intelektual.

 

(Baca juga: Dua Peluang Kekayaan Intelektual Indonesia di Era Kompetisi Global)

 

Di era disruptif, kata Freddy, kalangan perguruan tinggi harus berpikir out of the box. Jangan lagi terbelenggu oleh formalitas yang sebenarnya tidak terlalu penting. Misalnya dosen, masih lebih mengedepankan membuat artikel untuk dimuat di jurnal data Scopus dibandingkan mendaftarkan kekayaan intelektualnya. Padahal dengan mengirimkan artikel lebih dahulu, data hasil risetnya bisa diambil dan didaftarkan orang. Selain itu, perguruan tinggi harus memikirkan pendataan hasil-hasil riset. Pendataan yang baik akan berguna untuk mendorong komersialisasi paten perguruan tinggi. Tanpa itu, perguruan tinggi akan terbebani biaya pemeliharaan. “Di era disruptif, perguruan tinggi harus berubah,” pintanya.

 

Pasal 46 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menegaskan hasil penelitian wajib disebarluaskan dengan cara diseminarkan, dipublikasikan, dan/atau dipatenkan oleh perguruan tinggi kecuali hasil penelitian yang bersifat rahasia, mengganggi dan/atau membahayakan kepentingan umum. Hasil penelitian akademika yang diterbitkan dalam jurnal internasional memperoleh paten yang dimanfaatkan oleh industri, teknologi tepat guna, dan/atau buku yang digunakan sebagai sumber belajar dapat diberi anugerah yang bermakna oleh Pemerintah.

 

Dorongan agar perguruan tinggi menggairahkan kekayaan intelektual juga disebut dalam UU No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Pasal 13 Undang-Undang ini menyatakan perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib mengusahakan pembentukan sentra kekayaan intelektual sesuai kapasitas dan kemampuannya. Setiap kekayaan intelektual dan hasil kegiatan penelitian, pengembangan, perekayasaan, dan inovasi yang dibiayai pemerintah wajib dikelola dan dimanfaatkan dengan baik oleh perguruan tinggi, lembaga litbang dan badan usaha yang melaksanakannya.

 

Ketua Bidang Advokasi Lembaga Hukum Iluni UI, Hotman Sitorus mengatakan riset-riset yang bersifat teknologi perlu dikembangkan perguruan tinggi karena tidak mungkin ada paten tanpa riset yang mengarah pada penemuan-penemuan baru. “Tapi tidak semua riset teknologi berakhir dengan paten,” ujarnya di acara sama.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait