MK Kembali Tolak Uji Ambang Batas Pencalonan Presiden
Utama

MK Kembali Tolak Uji Ambang Batas Pencalonan Presiden

MK merujuk pada putusan-putusan sebelumnya yang menyatakan aturan ambang presiden merupakan open legal policy pembentuk UU.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Akhirnya, Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menolak uji materi aturan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang diatur Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Mahkamah tetap pada pendiriannya yang tertuang dalam beberapa putusan sebelumnya. Seperti, putusan MK No 51-51-59/PUU-VI/2008, No 56/PUU-VI/2008, No 26/PUU-VII/2009, No 4/PUU-XI/2013, No 14/PUU-XI/2013, No 46/PUU-XI/2013, hingga putusan terakhir yakni putusan MK No. No.53/PUU-XV/2017. 

 

“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Majelis MK Anwar Usman saat membacakan putusan bernomor 49/PUU-XVI/2018 yang dimohonkan M. Busyro Muqoddas Dkk dan putusan bernomor 54/PUU-XVI/2018 yang dimohonkan Effendy Gazali, di ruang sidang MK, Kamis (25/10/2018). Baca Juga: Gugatan Ambang Batas Demi Mencari Capres Alternatif

 

Para pemohonnya ialah M. Busyro Muqoddas (Mantan Ketua KPK), M Chatib Basri (Mantan Menteri Keuangan), Faisal Basri (Dosen FE UI), Hadar Nafis Gumay (Mantan Komisioner KPU), Bambang Widjojanto (Mantan Pimpinan KPK), Rocky Gerung (Dosen), Robertus Robert (Dosen), Feri Amsari (Dosen Universitas Andalas), Angga D Sasongko (Karyawan Swasta), Hasan Yahya (Karyawan Swasta), Dahnil A Simanjuntak (Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah), dan Titi Anggraini (Direktur Perludem). Dan termasuk Effendi Gazali.

 

Intinya, mereka minta MK menghapus Pasal 222 UU Pemilu ini yang mensyaratkan ambang batas pasangan capres-cawapres sebesar 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari total suara sah hasil Pemilu 2014 bagi parpol atau gabungan parpol yang mengusungnya. Atau ditafsirkan bersyarat sepanjang dimaknai nol persen. Sebab, aturan itu dirasa cukup berat dan menutup kesempatan/hak parpol baru untuk mengusung capres-cawapres alternatif lain.

 

Dalam pertimbangannya, Mahkamah merasa tidak punya alasan untuk mengubah pendiriannya atas putusan-putusan sebelumnya, diantaranya putusan MK No. 51-52-59/PUU-VI/2008, putusan MK No. 53/PUU-XV/2017. Mahkamah berpendapat Pasal 222 UU Pemilu merupakan constitutional engineering, bukan constitutional breaching (pelanggaran konstitusi) sebagaimana keterangan para pemohon.

 

Bagi Mahkamah, putusan MK mengenai konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu yang termuat dalam putusan-putusan sebelumnya sudah didasarkan pertimbangan komprehensif yang bertolak pada hakikat sistem pemerintahan presidensial sesuai desain UUD 1945. Bukan atas dasar pertimbangan-pertimbangan kasuistis yang bertolak dari peristiwa-peristiwa konkrit.

 

Lagipula, dalam rentang waktu hanya beberapa bulan ini, menurut Mahkamah tidak terjadi perubahan sistem ketatanegaraan menurut UUD 1945 yang dibuktikan dengan perubahan UU sebagai pengaturan lebih lanjut dalam sistem ketatanegaraan. Karena itu, Pasal 222 UU Pemilu tidak bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana dalam Putusan MK sebelumnya.

Tags:

Berita Terkait