Tiga Putusan Pengadilan Berbeda tentang Calon Anggota DPD
Utama

Tiga Putusan Pengadilan Berbeda tentang Calon Anggota DPD

Putusan berbeda membingungkan Komisi Pemilihan Umum.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pemilu. Ilustrator: BAS
Ilustrasi pemilu. Ilustrator: BAS

Komisi Pemilihan Umum (KPU) seolah “digebuk” oleh dua produk putusan dari lingkungan Mahkamah Agung (MA). Kurang dari seminggu setelah menerima salinan putusan MA No. 65 P/HUM/2018 tentang uji materi Peraturan KPU No. 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Putusan itu mengabulkan permohonan Ketua Partai Hanura, Oesman Sapta Odang, untuk dapat mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD di Pemilu 2019. Hanya berselang beberapa hari, Rabu (14/11) lalu, KPU harus kembali menerima kenyataan pahit.

Bagaimana tidak, muncul putusan lain yang dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. PTUN mengabulkan gugatan, dan pada intinya memenangkan Oesman Sapta. Kali ini, PTUN Jakarta melalui putusan No. 242/G/SPPU/2018/PTUN.JKT memerintahkan KPU untuk mecabut Surat Keputusan KPU No. 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 tentang Penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD Pemilu 2019.

Tidak cukup sampai di situ, KPU juga diperintahkan untuk menerbitkan surat keputusan baru yang isinya menyertakan nama Oesman Sapta sebagai calon anggota DPD pada Pemilu 2019. “Memerintahkan Tergugat untuk menerbitkan keputusan tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019 yang baru yang mencantumkan nama Penggugat sebagai Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019,” demikian bunyi amar putusan PTUN Jakarta, Rabu (14/11).

Menegaskan putusan tersebut, pengacara Oesman Sapta, Yusril Ihza Mahendra melalui pesan elektronik kepada wartawan mengatakan KPU memiliki kewajiban untuk segera mencabut SK tentang DCT DPD dan menerbitkan SK baru yang mencantumkan nama Oesman Sapta di dalamnya. “Pertimbangan Majelis sama persis dengan gugatan kita. Intinya KPU melanggar aspek prosedur dan substansi karena memberlakukan putusan MK secara surut,” ujar Yusril di hari yang sama.

Sontak putusan PTUN Jakarta ini menjadi perbincangan di forum Focus Group Discussion (FGD)yang sedang berlangsung di ruang pimpinan KPU yang terletak di lantai 2 kantor KPU. FGD yang diselenggarakan dalam rangka membahas rencana implementasi putusan MA No. 65 P/HUM/2018 tersebut akhirnya ikut membahas terkait putusan Putusan PTUN Jakarta. Patut diingat, putusan uji materil MA No. 65 dan putusan PTUN No. 242 secara bersamaan menempatkan KPU dan Oesman Sapta secara diametral.

Jika MA mengabulkan permohonan uji materi Peraturan KPU No. 26 Tahun 2018 dengan substansi sepanjang pasal 60A  tidak diberlakukan surut terhadap peserta Pemilu DPD tahun 2019 yang telah mengikuti tahapan, program, dan jadwal penyelenggaraan Pemilu, PTUN bahkan membatalkan secara keseluruhan SK KPU tentang DTC DPD. Putusan ini membuat KPU berada dalam posisi yang tidak mudah. Seolah mesti memilih, KPU dihadapkan pada putusan MA dan PTUN di satu sisi dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XVI/2018 di sisi lain.

(Baca juga: Alasan MA Batalkan Larangan Pengurus Parpol Jadi Anggota DPD untuk Pemilu 2019).

Ketua KPU, Arief Budiman, mengatakan diskusi terfokus KPU bertujuan menyaring pandangan dari para akademisi berkaitan dengan sejumlah putusan yang keluar dari ketiga lembaga peradilan tersebut. Dengan mendapat masukan dari para pemangku kepentingan, KPU dapat mengambil langkah yang tidak menimbulkan perdebatan lain di kemudian hari. “KPU akan segera mengambil sikap dalam waktu dekat supaya tindak lanjutnya komprehensif dan tidak saling bertentangan (antara ketiga putusan tersebut),” ujar Arief.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait