46 Persen Biaya Tambahan Peserta JKN untuk Beli Obat
Berita

46 Persen Biaya Tambahan Peserta JKN untuk Beli Obat

Masalah kekosongan obat yang dialami peserta JKN sudah terjadi sejak 2014. Akibatnya peserta harus mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli obat yang sebenarnya aturannya tidak boleh dibebankan kepada peserta JKN.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Layanan BPJS Kesehatan. Foto: RES
Layanan BPJS Kesehatan. Foto: RES

Undang-Undang (UU) No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) mengamanatkan manfaat jaminan kesehatan bersifat pelayanan perseorangan berupa pelayanan kesehatan yang mencakup promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai. Namun, sayangnya, amanat itu belum berjalan optimal karena peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih mengalami masalah out of pocket atau biaya tambahan yang dibayar peserta selain iuran.

 

Peneliti ICW, Dewi Anggraeni mengatakan hasil pemantauan ICW dan jaringannya di 4 kota yakni Banda Aceh, Medan, Subang, dan Blitar menunjukan masih ada peserta JKN kategori penerima bantuan iuran (PBI) yang menghadapi masalah out of pocket. Ini terjadi karena kekosongan obat di fasilitas kesehatan (faskes), sehingga peserta harus merogoh kocek pribadi untuk membeli obat.

 

ICW memantau sekitar 100 peserta JKN di setiap daerah itu dan hasilnya 33 peserta JKN di kota Banten mengeluarkan biaya tambahan, Kota Blitar 7 peserta, Serang 24 peserta, dan Banda Aceh 21 peserta. Besarnya biaya tambahan yang dikeluarkan peserta untuk membeli obat mulai dari Rp8 ribu sampai Rp750 ribu. Dewi melanjutkan ada beberapa hal yang menyebabkan kekosongan obat di faskes antara lain lambatnya distribusi obat oleh perusahaan besar farmasi, penyusunan rencana kebutuhan obat (RKO) yang tidak sesuai, dan hutang faskes.

 

Dewi menyebut ada faktor lain yang menyebabkan terjadinya kekosongan obat seperti daftar obat yang tercantum dalam e-katalog tidak sesuai dengan ketersediaan obat. Obat yang dibutuhkan tidak tersedia di e-katalog. “Ini disebabkan juga karena persoalan manajamen rumah sakit (RS) terutama dalam mengelola keuangan, keterlambatan pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan, atau korupsi yang ada di dalam RS,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (26/2/2019).

 

Asisten Deputi Bidang Manajemen Utilisasi dan Anti Fraud Rujukan BPJS Kesehatan, Elsa Novelia mengatakan kekosongan obat terjadi sejak 2014. Persoalan ini menimbulkan masalah biaya tambahan yang harus dikeluarkan peserta untuk membeli obat. Dari pengaduan yang masuk ke BPJS Kesehatan tahun 2017, ada 487 pengaduan terkait kekosongan obat. Jumlah itu turun di tahun 2018 menjadi 233 pengaduan. “Masalah out of pocket karena kekosongan obat ini masih dihadapi peserta JKN,” ujar Elsa dalam kesempatan yang sama.

 

Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan BPJS Kesehatan tahun 2016 menunjukan komponen biaya tambahan yang dibayar peserta kepada RS paling besar untuk obat. Sebanyak 46 persen peserta mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli obat di luar RS dan 17 persen peserta membeli obat di apotik RS. Padahal sebagaimana perintah UU SJSN dan berbagai peraturan turunannya, out of pocket ini tidak boleh dibebankan kepada peserta JKN.

 

Elsa menjelaskan semua obat dalam program JKN sudah termasuk dalam paket yang dibayar BPJS Kesehatan melalui tarif INA-CBGs. Sudah menjadi kewajiban RS untuk menyediakan obat yang dibutuhkan pasien JKN. “Dengan demikian, RS tidak boleh memberi resep kepada pasien dan kemudian pasien membeli atau menebus resep itu di apotik, baik apotik di dalam RS maupun apotik di luar RS,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait