Tracy Tania: Breaking the Glass Ceiling
Hukumonline’s NeXGen Lawyers 2019

Tracy Tania: Breaking the Glass Ceiling

Sangat disayangkan, banyak orang yang masih berpendapat bahwa seorang pengacara perempuan sukses pasti tidak berkeluarga atau bukan seorang istri yang baik.

Oleh:
CT-CAT
Bacaan 2 Menit
Tracy Tania. Foto: Istimewa
Tracy Tania. Foto: Istimewa

“Boston Legal!” Tracy Tania menjawab dengan mantap ketika ditanya mengenai serial TV favoritnya. “Sejujurnya, Boston Legal-lah yang menjadi inspirasi saya untuk menjadi seorang pengacara.”

 

Lahir di Jakarta pada tahun 1989 sebagai anak kembar dan tertua dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan, Tracy sudah biasa berdebat dari kecil. “Walaupun dulu perdebatan itu tentu saja berpusat pada perebutan mainan dan remote TV, ya,” ujarnya sambil tertawa.

 

Tracy memulai karier hukumnya dengan mengikuti program magang di Assegaf Hamzah & Partners (AHP) pada 2011. Hingga saat ini, Tracy masih bekerja di AHP dan merupakan Senior Associate termuda di sana. Tracy mengakui, salah satu pertanyaan yang sering ia terima adalah alasan ia betah di sana. “AHP adalah tempat yang baik untuk belajar dan berkembang. Senior-senior di AHP sangat suportif dan selalu mau berbagi ilmu dan pengalaman. Mereka tidak hanya fokus pada perkembangan firm, tetapi juga perkembangan personal para lawyers-nya. Untuk saya pribadi, rekan-rekan kerja saya di AHP sudah seperti keluarga. Hal ini membuat saya merasa lawyering menjadi sesuatu yang menyenangkan,” Tracy menambahkan.

 

Seiring dengan perjalanan kariernya di AHP, Tracy juga menerima beasiswa S2 dari AHP untuk melanjutkan pendidikannya di New York University, New York, Amerika Serikat.  Saat ini, sebagai bagian dari banking & finance practice group, fokus utama Tracy adalah di bidang restructuring and insolvency.

 

Tracy mengakui, dirinya memang selalu menyukai tantangan. Sebelum diangkat menjadi Senior Associate pada tahun 2017, Tracy sudah dipercaya untuk menangani transaksi-transaksi yang kompleks. Selain itu, ia juga menjadi ‘the go-to woman’ untuk beberapa klien besar AHP, termasuk di antaranya perusahaan-perusahaan ternama, bank dan institusi keuangan baik asing maupun lokal, serta funds dan PE. “Pengalaman yang tidak terlupakan, tuh, waktu negosiasi dengan institusi-institusi besar seperti World Bank dan Asian Development Bank. It was a tough negotiation, but it was satisfying when we got what we wanted,” kenang Tracy sambil tertawa.

 

Di masa kuliah pun, Tracy berhasil menepis stigma bahwa keturunan Tionghoa susah masuk universitas negeri, terutama Universitas Indonesia (UI), serta adanya diskriminasi. Tracy mengatakan, ia tidak pernah merasakan diskriminasi dalam bentuk apa pun selama masa pendidikannya di UI. Selama di UI, Tracy juga merupakan mahasiswa yang aktif dalam berbagai kompetisi debat. Ia berhasil mendapatkan juara satu untuk International Humanitarian Law Moot Court Competition yang diadakan untuk wilayah Asia Tenggara oleh International Committee of the Red Cross, dinobatkan sebagai Best Oralist di National Round Phillip C. Jessup International Law Moot Court Competition, dan menjadi anggota tim yang berhak mewakili Indonesia di International Round Phillip C. Jessup International Law Moot Court Competition.  

 

Di tengah-tengah kesibukan profesionalnya, Tracy senantiasa meluangkan waktu untuk kegiatan kemanusiaan. Ketika ditanya mengenai moto hidupnya, Tracy berpikir sejenak dan menjawab, “saya selalu merasa bahwa hidup saya bukan hanya untuk saya sendiri. Tetapi juga harus menjadi berkat bagi orang lain.”

Tags:

Berita Terkait