Ahli: Negara Harus Atur Layanan Konten Penyiaran Berbasis Internet
Berita

Ahli: Negara Harus Atur Layanan Konten Penyiaran Berbasis Internet

Menurut ahli, UU Penyiaran sudah memadai hanya tinggal diberikan pasal-pasal untuk menyesuaikan dengan kemajuan teknologi.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Konten negatif yang dibawa oleh layanan konten berbasis internet atau Over The Top (OTT) dalam bentuk video on demand dapat berdampak merusak moral publik. Karena itu, peran negara penting untuk mengatur layanan OTT. Hal ini disampaikan Guru Besar Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Iswandi Syahputra yang menjadi Ahli yang dihadirkan Pemohon RCTI dan INews dalam sidang lanjutan pengujian Pasal 1 angka 2 UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran), Kamis (1/10/2020).

“Konten negatif yang ada dalam OTT dapat berdampak merusak moral publik dan bahkan mengancam kedaulatan negara. Karena itu, negara harus hadir melindungi warganya,” papar Iswandi dalam persidangan seperti dikutip laman MK.

Iswandi melanjutkan OTT dalam bentuk VOD adalah konten siaran atau bagian dari bentuk siaran, maka perlu ada pihak yang mengaturnya. Negara mutlak harus melakukan pengaturan untuk memberi perlindungan kepada publik dari tayangan negatif. Pengaturan ini bukan dimaksudkan membatasi kebebasan warga menyampaikan pendapat atau berekspresi.

“Konten OTT perlu diawasi atau diatur karena memungkinkan memberi pengaruh buruk kepada publik, dapat menimbulkan moral panic karena mengandung muatan pornografi, sadisme, bahkan penipuan. Dalam hal-hal tertentu bahkan dapat mengancam kedaulatan negara, misalnya radikalisme dan terorisme. Pengaturan dan pengawasan konten OTT ini dapat dilakukan dengan menggunakan UU No. 32/2002 tentang Penyiaran,” jelas mantan Komisioner KPI tersebut. (Baca Juga: RCTI dan INews Perbaiki Uji Aturan Penyiaran Lewat Internet)

Dia melanjutkan pihak yang dibutuhkan negara untuk mengatur konten OTT adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sebab, KPI telah memiliki instrumen-instrumen pengawasan penyiaran. Selain pedoman pengawasan, Iswandi menilai KPI mumpuni dari aspek ketersediaan sumber daya manusia yang andal dan terlatih. Terlebih, KPI sudah berpengalaman selama 15–18 tahun dalam bidang pengawasan penyiaran.

“(KPI) tersebar di semua provinsi di Indonesia. Mereka mengalami proses pelatihan dan penanganan kasus-kasus pelanggaran siaran yang cukup Panjang, sehingga tidak begitu kesulitan melakukan pengawasan pelanggaran siaran berbasis internet untuk jenis kategori OTT,” tegas Iswandi. 

Ia menyebut beberapa kasus yang dipicu dari konten OTT sebagai dampak negatif. Sebut saja, kasus Ferdian Paleka, Youtuber yang memberikan sembako sampah. Belum lagi menyimak pemberitaan ada sepasang suami istri di Kalibata yang melakukan mutilasi terhadap korban yang dipilihnya dan pelanggaran mutilasi itu diperoleh dari konten YouTube. “Betapa besar pengaruh dari tayangan-tayangan negatif itu,” sebut Iswandi.

Tags:

Berita Terkait