Inilah Temuan Lapangan Masalah Harmonisasi Peraturan di Daerah
Berita

Inilah Temuan Lapangan Masalah Harmonisasi Peraturan di Daerah

Kalangan akademisi di daerah dan biro hukum Pemda belum familiar dengan mekanisme mediasi disharmoni perundang-undangan yang difasilitasi Kanwil Hukum dan HAM.

Muhammad Yasin
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi disharmoni Perda. Ilustrator: HGW
Ilustrasi disharmoni Perda. Ilustrator: HGW

Disharmoni peraturan perundang-undangan di daerah bukan hanya disebabkan oleh egosektoral, tetapi kurangnya pelibatan partisipasi publik dan ahli pada tahap atau proses pembentukan. Upaya memediasi disharmoni norma peraturan perundang-undangan pun tak selamanya mendapat sambutan dari pemerintah daerah.

Inilah antara lain temuan penelitian Badan Litbang Kementerian Hukum dan HAM mengenai implementasi penyelesaian disharmoni peraturan perundang-undangan melalui jalur mediasi. Peneliti Balitbang Kementerian Hukum dan HAM, Nevey Varida Ariani, memaparkan lima temuan penelitian melalui webinar, Rabu (24/2/2021). Selain egosektoral dan minim pelibatan publik dan ahli, peneliti Balitbang juga menemukan penolakan harmonisasi rancangan peraturan daerah (Ranperda) diharmonisasi oleh Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM. “Dalam praktiknya, beberapa kabupaten/kota menolak pengharmonisasian Ranperda dikoordinasikan oleh Kanwil Kemenkumham,” papar Nevey.

Proses mediasi disharmoni peraturan perundang-undangan menimbulkan stigma bahwa hasil mediasi hanya mengikat kedua belah pihak. Menghilangkan stigma ini penting karena peraturan perundang-undangan mengikat publik, bukan hanya pihak-pihak yang dimediasi. Dengan kata lain, ada kepentingan publik yang lebih luas harus dilindungi. Ini berkaitan dengan temuan terakhir, bahwa proses mediasi itu ditekankan pada solusi yang memuaskan semua pihak (win-win solution). Proses mediasi disharmoni peraturan perundang-undangan tidak sama dengan pemeriksaan pada lembaga yudisial seperti di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.

Mediasi disharmoni peraturan diperkenalkan lewat Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 2 Tahun 2019 tentang Penyelesaian Disharmoni Peraturan Perundang-Undangan Melalui Mediasi. Beleid Menkumham ini orang perorangan, badan hukum, atau badan pemerintahan yang menemukan disharmoni dalam jenis peraturan perundang-undangan tertentu mengajukan proses mediasi ke Kementerian Hukum dan HAM. Jenis peraturan yang diperkenankan adalah Peraturan Menteri (Permen), peraturan lembaga pemerintah non-kementerian, peraturan lembaga nonstructural, dan peraturan perundang-undangan di daerah.

Mekanisme penyelesaian disharmoni peraturan perundang-undangan ini dilatarbelakangi obesitas regulasi di Indonesia. Kepala Balitbang Hukum dan HAM, Sri Puguh Budi Utami, misalnya mengungkapkan sepanjang periode 2014 hingga November 2019 tercatat tidak kurang dari 42.996 jenis regulasi. Terbanyak, 15.965, berjenis peraturan daerah (Perda). Kanwil Hukum dan HAM di daerah seharusnya berperan memfasilitasi mediasi disharmoni peraturan perundang-undangan tersebut.

Nevey menjelaskan Permenkumham No. 2 Tahun 2019 dapat dipandang sebagai terobosan hukum, jalan tengah, atau sikap responsif untuk mengatasi persoalan yang terjadi, khususnya jika terjadi konflik antarnorma peraturan perundang-undangan. Forum mediasi ini, kata dia, dapat memberikan solusi atau menjembatani kepentingan pihak yang dirugikan. Mediator nanti akan mendengarkan keluhan pemohon, mendengar para pihak, dan memberikan rekomendasi. Rekomendasi ini dipakai dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan.

Cuma, belum semua pemangku kepentingan memahami mekanisme mediasi atas disharmoni peraturan perundang-undangan. Riset ini juga menunjukkan pengetahuan pejabat biro hukum di pemda belum merata; bahkan masih banyak kalangan akademisi yang tak mengetahui Permenkumham No. 2 Tahun 2019 tersebut.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Mirza Nasution, menyambut baik mekanisme penyelesaian disharmoni perundang-undangan. Mediasi, menurut dia, mengandung makna ada persoalan yang harus diselesaikan. Tinggall bagaimana persoalan itu diselesaikan dengan mempertimbangkan kepentingan banyak pihak. Mirza menyarankan agar ada semacam forum bersama untuk menyamakan pemaknaan terhadap peraturan perundang-undangan yang sedang disusun. “Perlu ada forum bersama untuk melakukan penyamaan makna,” ujarnya.

Ruang bersama menyamakan makna dan persepsi itu merupakan bagian dari konstitusionalisasi norma yang sedang dipersiapkan. Dikatakan Mirza, perlu ada pendekatan sistem agar semua pemangku kepentingan memiliki pandangan yang sama mengenai norma yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan.

Jika tetap ada bagian yang menimbulkan perbedaan pandangan, maka mediasi adalah langkah yang layak ditempuh. Tenaga Ahli Komisi E DPRD Sumatera Utara, M. Fadli Habibie, mengatakan proses pembuatan Perda membutuhkan waktu dan prosedur panjang, sejak penyusunan naskah akademisi hingga pengesahan. Pihak yang terdampak biasanya dimintai pandangan. Dalam kasus tertentu Kementerian Dalam Negeri mengingatkan atau menginformasikan potensi kekeliruan dalam substansi perda. “Kemendagri dapat meminta secara resmi untuk dilakukan pengkajian ulang,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait