Menjaga Benteng Terakhir KPK
Konsiderans

Menjaga Benteng Terakhir KPK

​​​​​​​Jika diibaratkan dengan praktik bisnis, yang terjadi pada KPK mirip Hostile Takeover. Kepemilikan sahamnya diubah dengan revisi UU KPK, manajemennya coba dibongkar dengan Tes Wawasan Kebangsaan.

Bacaan 5 Menit
Menjaga Benteng Terakhir KPK
Hukumonline

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XVII/2019, yang dibacakan pada 4 Mei 2021 lalu, telah menolak untuk seluruhnya uji formil atas revisi UU KPK. Putusan MK ini seperti menggenapi rentetan berita buruk tentang KPK beberapa waktu belakangan. Putusan ini mengecewakan, karena seperti menjustifikasi akrobat legislasi kilat bergaya tiqui-taca antara Presiden dan DPR, dan menutup mata atas penolakan besar-besaran dari masyarakat yang bahkan sampai memakan korban nyawa.

Satu hal yang sedikit bisa membesarkan hati dari Putusan MK ini adalah adanya pendapat berbeda (dissenting opinion) dari Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams. Secara elegan dan runut, Wahiduddin Adams sesungguhnya telah menguliti dan meruntuhkan pendapat 8 hakim konstitusi lainnya. Wahiduddin Adams mengulas tentang persoalan konstitusionalitas dan moralitas yang dipandangnya cukup serius, menyoroti minimnya partisipasi masyarakat, dan akhirnya berpendapat bahwa pembentukan revisi UU KPK bertentangan dengan konstitusi sehingga tidak punya kekuatan hukum mengikat.

Namun berita buruk tentang KPK tak berhenti pada putusan MK. Setelah melalui serangkaian proses yang kontroversial, dikabarkan bahwa Ketua KPK Firli Bahuri telah menandatangani SK Nomor 652 Tahun 2021 (tanggal 7 Mei 2021) yang memerintahkan kepada 75 pegawai KPK yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), agar menyerahkan tugas dan tanggungjawab kepada atasannya, sambil menunggu keputusan lebih lanjut.

Ada yang tidak wajar dari pelaksanaan TWK untuk pegawai KPK, dan upaya untuk menormalkannya perlu ditentang bersama. Tes ini bukan tes ASN biasa. Bahkan, publik menyaksikan sendiri bagaimana Pimpinan KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) terkesan saling lempar tanggung jawab soal tes ini. Beberapa nama yang muncul dalam daftar 75 pegawai KPK yang tidak lolos TWK, justru dikenal sebagai pegawai KPK yang berintegritas tinggi dan memegang peranan kunci dalam penanganan kasus-kasus besar di KPK.

Melihat proses dan hasilnya, tes ini lebih terlihat sebagai instrumen penyingkiran pegawai-pegawai tertentu di KPK. Semakin parah, kemudian terungkap bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada pegawai KPK saat menjalani TWK ternyata diskriminatif, ofensif, dan tidak relevan dengan tugas-tanggung jawab pegawai KPK.

Benteng Terakhir

Jika diibaratkan dengan praktik bisnis, yang terjadi pada KPK mirip Hostile Takeover. Kepemilikan sahamnya diubah dengan revisi UU KPK, manajemennya coba dibongkar dengan Tes Wawasan Kebangsaan.

Revisi UU KPK yang lahir dengan proses tak wajar tahun 2019, telah jadi pembuka jalan atas berbagai masalah yang terjadi di KPK saat ini. Tanpa partisipasi publik yang memadai, revisi UU KPK telah melakukan berbagai perubahan mendasar pada KPK. Revisi UU KPK menyelipkan kalimat “dalam rumpun kekuasaan eksekutif” pada pengertian tentang KPK, menyatakan pegawai KPK sebagai aparatur sipil negara (ASN), menambahkan kewenangan penghentian penyidikan (SP3), dan membentuk Dewan Pengawas yang ketua dan anggotanya diangkat dan ditetapkan oleh presiden.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait