Mahkamah Konstitusi Tolak Batalkan UU Kehutanan
Utama

Mahkamah Konstitusi Tolak Batalkan UU Kehutanan

Dalam putusan setebal 417 halaman, MK memahami bahaya dan dampak negatif penambangan terbuka di kawasan hutan lindung. Tetapi, MK memahami tindakan Pemerintah memberikan izin kepada 13 perusahaan tambang.

CR-1
Bacaan 2 Menit
Mahkamah Konstitusi Tolak Batalkan UU Kehutanan
Hukumonline

 

Majelis hakim konstitusi juga menyinggung argumen tentang ‘hal ihwal kegentingan yang memaksa' sebagai syarat dikeluarkannya sebuah Perppu. Istilah itu berbeda dengan ‘keadaan bahaya'. Menurut MK, hal ihwal kegentingan yang memaksa memang merupakan hak subjektif presiden. Untuk menguatkan argumennya, MK mengutip berbagai ketentuan Konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia.

 

Putusan MK itu membuat TAPHL kecewa. Hendri Subagyo, salah seorang kuasa pemohon, menilai pertimbangan hakim terlalu menggunakan parameter normatif. Apalagi sampai menyinggung Konstitusi RIS dan UUD Sementara 1950.

 

Lebih lanjut, Hendry menyesalkan masalah sustainable development (pembangunan berkelanjutan) dan pemanfaatan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta pelanggaran atas lingkungan hanya dijadikan sekedar catatan. Ia berharap itu harus dijadikan bagian dari pertimbangan.

 

AH Semendawai, kuasa hukum lainnya, mengecam putusan MK yang ambivalen. Dalam UU tersebut dikatakan bahwa dalam proses eksplorasi tidak boleh dilakukan dengan tambang terbuka, harus dengan tambang tertutup. Tetapi dalam putusannya hal itu tidak disebut. MK hanya menolak judicial review yang kita ajukan, ujarnya.

Perjuangan puluhan aktivis lingkungan yang tergabung dalam Tim Advokasi Penyelamatan Hutan Lindung (TAPHL) menggugat Perppu Nomor 1 Tahun 2004 –yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang No. 19/2004—mencapai antiklimaks. Permohonan formil dan materiil yang mereka ajukan ditolak sepenuhnya Mahkamah Konstitusi (MK).

 

Tidak ada satu pun hakim yang mengajukan dissenting opinion. Permohonan pemohon tidak cukup beralasan, sehingga harus ditolak, ujar Ketua MK Prof. Jimly Asshiddiqie, dalam sidang pleno yang berlangsung hari ini (7/07) di Jakarta.

 

Sebenarnya, MK sepakat dengan pemohon bahwa pasal 83A Perppu No. 1 Tahun 2004 merupakan penyimpangan sementara terhadap aturan larangan menambang secara terbuka di kawasan hutan lindung. Larangan tersebut tegas tercantum pada pasal 38 ayat (4) Undang-Undang Kehutanan 1999. Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.

 

Di satu sisi, majelis hakim sepakat dengan pemohon sebatas bahaya dan dampak negatif penambangan terbuka di kawasan hutan lindung. Dasar permohonan pemohon secara substansi benar, kata Jimly, usai sidang.

 

Tetapi di sisi lain, MK mengatakan dapat memahami alasan pembentuk undang-undang menerobos larangan tadi. MK memahami pentingnya ketentuan yang bersifat transisional yang diberlakukan bagi suatu pelanjutan keadaan hukum atau hak-hak yang telah diperoleh. Maksudnya adalah kontrak karya yang telah dibuat Pemerintah dengan 13 perusahaan tambang sebelum berlakunya larangan dalam UU Kehutanan 1999.

Tags: