Tak Sama Persepsi, Laporan Bawaslu Kandas di Tengah Jalan
Berita

Tak Sama Persepsi, Laporan Bawaslu Kandas di Tengah Jalan

Polisi di Sentra Gakumdu anggap laporan Bawaslu mengenai dua surat edaran KPU terkait surat suara tertukar tidak memenuhi beberapa unsur dalam Pasal 288 UU Pemilu Legislatif. Sementara, Bawaslu tengah mempersiapkan surat untuk dikirimkan kepada Presiden, DPR, dan Kompolnas.

Nov
Bacaan 2 Menit
Tak Sama Persepsi, Laporan Bawaslu Kandas di Tengah Jalan
Hukumonline

 

Lebih dari itu, kedua surat edaran yang diterbitkan 9 dan 11 April tersebut tidak dibuat berdasarkan keputusan individu. Melainkan melalui keputusan pleno ketua KPU beserta jajarannya. Bapak Ketua KPU menandatangani surat nomor 676/KPU/IV/2009, bukan kapasitasnya sebagai personal, tetapi selaku Ketua KPU, jelas Susno.

 

Pandangan seperti ini ditepis Bawaslu. Anggota Bawaslu Bidang Hukum dan Penanganan Laporan Wirdyaningsih mengatakan unsur setiap orang dalam Pasal 288 itu berlaku bagi siapa saja, termasuk ketua, maupun anggota KPU. Malahan, Pasal 311 UU Pemilu Legislatif mengisyaratkan penambahan sanksi pidana bagi penyelenggara Pemilu yang melakukan tindak pidana Pemilu. Itu berlaku bagi siapa saja, bahkan untuk penyelenggara Pemilu ditambahkan hukumannya sepertiga.

 

Pasal 311 UU No.10/2008

 

Dalam hal penyelenggara Pemilu melakukan pelanggaran pidana Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260, Pasal 261, Pasal 262, Pasal 265, Pasal 266, Pasal 269, Pasal 270, Pasal 276, Pasal 278, Pasal 281, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 288, Pasal 289, Pasal 290, Pasal 291, Pasal 293, Pasal 295, Pasal 297, Pasal 298, dan Pasal 300, maka pidana bagi yang bersangkutan ditambah 1/3 (satu pertiga) dari ketentuan pidana yang ditetapkan dalam pasal-pasal tersebut.

 

Unsur lain yang dianggap tidak terpenuhi adalah unsur dengan sengaja. Pihak kepolisian di Sentra Gakumdu memiliki logika bahwa bukan dua surat edaran KPU lah yang membuat surat suara jadi tertukar. Buktinya, surat edaran itu diterbitkan belakangan setelah terjadinya surat suara tertukar di beberapa daerah pemilihan (Dapil).

 

Lagipula, kata Susno, justru surat edaran itu diterbitkan dalam keadaan darurat (emergency) oleh seorang pejabat tata usaha negara yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Pemilu, guna mengurangi dampak dari tertukarnya surat suara. Jadi, surat ini bukan sengaja dikeluarkan agar surat suara di masing-masing Dapil menjadi tertukar. Justru tidak.

 

Namun, logika kepolisian ini tidak sejalan dengan apa yang dimaksud Bawaslu dalam laporannya. Bambang Eka Cahya Widodo, anggota Bawaslu lainnya mengatakan, kami tidak pernah memposisikan seperti itu. Karena, memang permasalahan adalah surat edaran KPU yang mengakibatkan suara pemilih menjadi tidak bernilai. Bukan karena surat edaran, surat suara jadi tertukar.

 

Unsur kesengajaan juga terlihat dari sikap KPU yang sebenarnya -ketika diketahui surat suara tertukar- masih memiliki pilihan lain, selain menerbitkan surat edaran. Menurut Bambang, KPU dapat menghentikan Pemilu, lalu menggantikan surat suara tertukar dengan surat suara yang benar.

 

Kemudian, kata Wirdyaningsih, KPU juga dapat melakukan Pemilu ulang. Namun, hal itu tidak dilakukan KPU. Padahal, apabila KPU menghentikan kesalahannya sampai pada surat suara tertukar, KPU hanya akan terkena pelanggaran administratif. Tapi, karena KPU malah mengeluarkan surat edaran yang mengakibatkan suara pemilih menjadi tidak bernilai, maka pelanggarannya menjadi pidana, Pasal 288, bebernya.   

 

Tidak bernilai?

Lalu, unsur berikutnya, suara seorang pemilih menjadi tidak bernilai atau menyebabkan peserta pemilu tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suara peserta pemilu menjadi berkurang. Unsur ini juga dianggap tidak terpenuhi karena justru surat edaran yang diterbitkan KPU membuat suara pemilih menjadi berharga, karena diakomodir ke dalam suara Parpol. Lagipula, yang dimaksud sebagai peserta Pemilu, dalam ketentuan Pasal 1 butir 23 UU Pemilu, bukanlah caleg Parpol, melainkan Parpol itu sendiri. Sehingga, menurut Susno, tidak ada yang dirugikan.

 

Tapi, perspektif seperti ini ditepis Wirdyaningsih. Menurutnya, pengalihan suara caleg menjadi suara Parpol jelas-jelas akan merugikan caleg yang sudah dicontreng pemilih karena suaranya masuk ke dalam suara Parpol. Sementara, saat ini asasnya adalah proposional terbuka. Bisa-bisa suara caleg tersebut masuk ke caleg lain sesuai dengan keputusan suara terbanyak Parpol.

 

Kemudian, untuk pengertian peserta pemilu yang dalam ketentuan UU Pemilu adalah Parpol, dan bukan caleg. Wirdyaningsih sepakat. Namun, ada satu hal yang perlu diingat. Rumusan Pasal 288 itu tidak bersifat kumulatif, melainkan alternatif. Jadi, tidak perlu memenuhi semua rumusan delik. Sampai di ‘setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak bernilai' saja sudah bisa.

 

Tidak bisa di PTUN kan

Satu hal lagi yang menjadi alasan kepolisian menyatakan laporan Bawaslu tidak dapat ditindaklanjuti. Surat edaran yang dipermasalahkan bukanlah ranah hukum pidana, melainkan ranah hukum tata usaha negara. Sehingga, Bawaslu seharusnya mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

 

Namun, Wirdyaningsih mengatakan bahwa dua surat edaran yang diterbitkan KPU tidak memenuhi syarat sebuah surat atau keputusan untuk diajukan ke PTUN. Syaratnya kan ada tiga. Pertama, itu individual, kemudian final, dan konkrit. Surat edaran bernomor 676/KPU/IV/2009 dan 684/KPU/IV/2009 diputuskan bersama melalui pleno, dan sifatnya pengaturan.

Laporan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait dua surat edaran Komisi Pemilihan Umum Nomor 676/KPU/IV/2009 dan 684/KPU/IV/2009 yang membuat suara pemilih menjadi tidak bernilai sepertinya harus berhenti sampai di sini. Pasalnya, 17 April lalu, Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) memutuskan bahwa laporan Bawaslu tidak memenuhi beberapa unsur yang terdapat dalam Pasal 288 UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif.

 

Terjadi silang pendapat antara Bawaslu dan Kepolisian dalam menginterpretasikan unsur-unsur dalam Pasal 288. Seperti diketahui, bunyi rumusannya adalah sebagai berikut, setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak bernilai atau menyebabkan peserta pemilu tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suara peserta pemilu menjadi berkurang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000 (tiga puluh enam juta rupiah).

 

Polisi menganggap unsur setiap orang di sini tidak mencakup ketua, anggota, maupun sekretaris jenderal KPU. Dan ini dikemukakan Kabareskrim Mabes Polri Susno Duaji, 20 April lalu saat mengklarifikasi pemberitaan media terkait penolakan laporan Bawaslu oleh pihak kepolisian.

 

Menurut Susno definisi setiap orang di Pasal 288 hanya diperuntukan bagi orang-orang yang tidak memiliki jabatan apapun dalam penyelenggaraan Pemilu. Pasal 288, alamatnya, kode posnya itu bukan untuk ketua, bukan untuk anggota, bukan juga untuk ketua dan anggota, bukan juga untuk sekjen, tetapi untuk orang-orang seperti nenek saya di kampung, saudara saya di kampung, yang tidak ada jabatannya apapun.

Halaman Selanjutnya:
Tags: