Munculnya Kesadaran Konsumen untuk Menggugat Hak
Berita

Munculnya Kesadaran Konsumen untuk Menggugat Hak

Kesal karena penerbangan delay tak lagi diungkapkan lewat surat pembaca. Kini, penumpang yang dirugikan mulai menempuh upaya hukum menggugat perusahaan penerbangan.

KML
Bacaan 2 Menit
Munculnya Kesadaran Konsumen untuk Menggugat Hak
Hukumonline

 

Selain gugatan Sholeh dan David, adapula wanita warga negara asing,  yang memutuskan untuk menggugat pengelola Grand Hyatt Bali. Alasannya, ia harus dirawat setelah terpeleset di kamar hotel akibat bocoran air penyejuk ruangan. Hingga kini, gugatan itu belum diputuskan.  

 

Berdasarkan catatan hukumonline, sejumlah warga Ibukota juga pernah melayangkan gugatan class action atas kenaikan harga gas elpiji di PN Jakarta Pusat. Warga pemakai gas elpiji menganggap kenaikan itu mengabaikan hak-hak mereka sebagai konsumen.

 

Langkah konsumen menuntut hak-hak mereka lewat pengadilan mendapat apresiasi dari Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Huzna Zahir. Menurut dia, selama ini konsumen masih enggan menggunakan jalur pengadilan untuk menuntut hak lantaran merasa tidak akrab dengan badan peradilan.

 

Konsumen malas menggugat ke pengadilan karena pengadilan bukan tempat yang nyaman bagi masyarakat biasa. Selain itu juga beban waktu biaya. Menggugat merupakan pilihan yang parah betul ujarnya lirih. Meski begitu, hukumonline  mencatat beberapa anomali.

 

Budaya hukum

Dalam kasus wanita asal Portugal tersebut, Sosiolog hukum Soetandyo Wignyosoebroto menilai ada dua alasan. Pertama ialah alasan kebudayaan. Menurutnya orang barat dididik untuk menghargai hak-hak pribadi, baik hak pribadi sendiri maupun hak pribadi orang lain.

 

Menurut Prof. Sutandyo, orang barat sangat perduli terhadap pertanggungan jawab atas hak sendiri ataupun orang lain.  Mereka mengetahui Hotel harus hati-hati dalam melindungi orang lain yang notabene pelanggannya. Apalagi wanita tersebut sampai mengeluarkan biaya macam-macam antara lain perawatan ujarnya.

 

Ia memandang kesadaran masyarakat Indonesia akan haknya memang masih rendah. Hal ini disebabkan karena perbedaan budaya hukum dan pemahaman mengenai hak. Kalau di Indonesia  mungkin lebih mudah saling memaafkan, kalau disana soal menghargai atau tidak hak-hak orang lain duganya.

 

Persoalannya ialah perbedaan budaya hukum dan pemahaman mengenai hak. Mungkin kalangan kita terlalu lama didik untuk menyadari kewajiban daripada hak. Misalnya berkorban untuk kepentingan orang lain ujarnya. Sebaiknya menurut Tandyo, sekarang masyarakat harus juga terdidik untuk menyadari hak, hak asasi sendiri maupun orang lain.

 

Di sini orang gampang saja melanggar hak kemudian meminta maaf. Orang  yang dilanggar hak, kewajibannya memaafkan. Mungkin kolektivitas begini jelasnya. Kalau sampai orang tidak mau memaafkan, yang salah yang tidak mau memaafkan, tambah guru besar ilmu hukum itu. Gitu saja kok ngugat-gugat.

 

Mahal, lambat, dan berbelit

Selain budaya, faktor lain yang berpengaruh adalah sulitnya masyarakat mengakses keadilan. Ini senada dengan pandangan Husna Zahir. Alasan orang malas menggugat karena berperkara di pengadilan makan waktu. Paling yang menang jadi arang, yang kalah jadi abu kata Ketua YLKI itu pesimis.

 

Apalagi sudah menjadi asumsi umum bahwa hukum lebih memihak pada yang kaya dari pada yang miskin. Hal itu terlihat dari biaya perkara yang relatif tinggi, dan harga pengacara yang cukup mahal. Belum lagi berapa banyak waktu dan dana habis untuk mencari bukti. Apabila memutuskan untuk menggugat, David Tobing menyarankan penggugat untuk realistis. Harus bisa dibuktikan secara terang dan mudah pembuktiannya. Karena pembuktian cukup sulit. ujarnya.

 

Bukti-bukti ini sebaiknya telah dipersiapkan sebelum menggugat. Jadi kalau ada bukti awal cukup, baru layak gugat tambahnya. Ia juga memberi catatan, penggugat harus merupakan korban, bukan hanya ingin memeras.

 

Diakuinya, menggugat bukan persoalan sederhana dan mudah. Otak kita harus jalan kemana-mana. Kita harus mengumpulkan bukti sebanyak mungkin, jangan sampai jadi diserang balik oleh produsen yang merasa nama baiknya dicemari tuturnya memberi saran.

 

Kepada para hakim Prof Sutandyo menyarankan bahwa dalam memutus, pakaian budaya (seperti salah bila tidak memaafkan, menekankan pada kewajiban) yang dipakai hakim dan mungkin berpengaruh saat memutus, harus ditanggalkan.

 

Saat menghadapi gugatan yang mungkin terlihat sepele, menurut Sutandyo hakim harus melihat hukum yang berlaku dan mengesampingkan budaya (Hakim harus-red) merujuk pada dasar hukum yang mau dipakai ujarnya.

 

Di Surabaya, seorang advokat bernama Muhammad Sholeh menggugat maskapai penerbangan Lion Air karena telat lepas landas selama 3,5 jam. Selain meminta ganti rugi, Sholeh menyatakan gugatannya juga bertujuan membuat pelaku usaha waspada. Ini pendidikan politik juga, agar ke depannya pengusaha jasa tidak selalu mempermainkan hak-hak konsumen. tandasnya.

 

Alasan Sholeh, dalam hal penerbangan selama ini hak konsumen selalu dikerdilkan oleh pihak maskapai. Maskapai hanya meminta maaf bila terjadi keterlambatan, Sementara kalau kita terlambat lima menit lewat sudah tuturnya.  

 

Tak lama kemudian terbetik kabar, beberapa penumpang pesawat Garuda berencana melayangkan gugatan class action karena mereka mendapat perlakuan yang tidak selayaknya ketika pesawat delay. Hingga saat ini, upaya hukum terhadap Garuda ini masih rencana. Sementara, sejumlah pengguna jalan tol dikabarkan akan nemepuh upaya serupa terkait kenaikan tarif di sebagian ruas tol yang tanpa sosialisasi terlebih dahulu.

 

Upaya hukum bukan hanya ditempuh konsumen penerbangan yang merasa dirugikan akibat penundaan keberangkatan. Beberapa waktu lalu David Tobing memenangkan kasasi dalam perkara melawan pengelola parkir Secure Parking senilai Rp1000. Advokat Jakarta ini yang memposisikan dirinya sebagai konsumen jasa perparkiran ini menggugat lantaran ditagih biaya parkir lebih dari yang seharusnya.

 

Meski mungkin bikin orang geleng-geleng atas gugatannya, David menyakini kesadaran akan hak-hak konsumen harus lebih dimasyarakatkan. Dari pengamatan David selama ini, memang keengganan konsumen untuk menggugat sudah parah. Harusnya masyarakat dan lawyer-lawyer kita lebih peka dalam perkara perlindungan konsumen, ujarnya dalam suatu kesempatan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: