Ke Depan, Hakim MK Tak Harus Berlatar Hukum Tata Negara
Berita

Ke Depan, Hakim MK Tak Harus Berlatar Hukum Tata Negara

Waktu yang tersisa masih beberapa bulan lagi. Tetapi bincang-bincang mengenai seleksi hakim konstitusi mulai bergema. Ke depan, pakar ekonomi yang paham konstitusi patut dipertimbangkan. Hakim konstitusi dari perempuan juga perlu ada.

Mys/NNC/Ali
Bacaan 2 Menit
Ke Depan, Hakim MK Tak Harus Berlatar Hukum Tata Negara
Hukumonline

 

Ahli tata negara atau paham konstitusi?

Kesembilan hakim konstitusi yang ada sekarang dianggap mewakili syarat-syarat yang ditentukan Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UUMK). Selain berusia minimal 40, adil, dan memiliki integritas, seorang calon hakim konstitusi harus ‘negarawan yang menguasai konstitusi dan kenegaraan. Klausul inilah yang kemudian membuat hakim-hakim konstitusi terpilih berlatar belakang hukum tata negara.

 

Tengok saja Jimly Asshiddiqie, Mukhtie Fadjar dan Harjono. Dulunya mereka adalah akademisi yang mengajar mata kuliah ketatanegaraan. Laica, Sudarsono, dan Maruarar juga kental dengan masalah ketatanegaraan karena selama di dunia peradilan mereka banyak menangani perkara tata usaha negara (TUN). Dengan demikian, bisa jadi calon hakim konstitusi usulan MA tak akan jauh-jauh dari latar belakang TUN. Berdasarkan catatan hukumonline, hakim-hakim agung yang banyak menangani perkara TUN antara lain adalah Prof. Paulus Effendi Lotulung, Titi Nurmala Siagian, Prof. Ahmad Sukardja, Widayatno Sastro Hardjono, Imam Soebechi, dan Marina Sidabutar. Menilik latar belakang pengusulan Sudarsono dan Maruarar Siahaan tempo hari, tak tertutup kemungkinan nama yang diusulkan dari lingkungan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).

 

Namun menurut Ketua MA Bagir Manan, klasifikasi khusus seperti latar belakang TUN itu tak terlalu  berpengaruh. Yang penting, kata Bagir, si calon harus punya kemampuan menjadi hakim konstitusi. Yang akan terpilih tentu saja yang memenuhi syarat hakim konstitusi. Dari segi usia berkisar 40 - 67 tahun. Mengenai usia, Bagir memberi isyarat begini: Jangan sampai begitu diangkat langsung pensiun. Usia 67 adalah batas pensiun hakim konstitusi.

 

Dari segi pendidikan, tak ada syarat khusus. Cuma, Bagir mengingatkan bahwa sumber daya manusia di lingkungan peradilan pun sudah memadai. Jangan lupa di pengadilan sudah banyak yang doktor, ujarnya. Beberapa di antaranya meraih gelar doktor dalam bidang TUN seperti Lintong Oloan Siahaan (pernah menjadi Ketua PTTUN Medan) dan Supandi (Kapusdiklat Teknis Peradilan).

 

Cuma, latar belakang pendidikan bukan satu-satunya ukuran. Pengalaman di dunia peradilan –seperti ditunjukkan Maruarar Siahaan selama ini dalam sidang MK-- pun sangat berarti ketika menjadi hakim konstitusi.

 

Seorang guru besar ilmu hukum yang beberapa kali mengikuti sidang MK berpendapat sudah saatnya pandangan sempit hakim MK harus ahli tata negara diubah. Konstitusi bukan melulu soal negara, tetapi juga bisa soal perekonomian dan sosial budaya. Apalagi ketika bertugas menguji undang-undang, tak jarang yang diuji adalah UU bidang perekonomian dan sangat teknis. Sebut misalnya UU Ketenagalistrikan, UU Migas, UU Sumber Daya Alam, UU Kepailitan dan PKPU, UU Kehutanan, dan UU APBN. Dalam pengujian UU perekonomian tersebut, cerita sumber, MK menghadapi sedikit masalah. Oleh karena itu, sumber tadi menyarankan perlunya hakim konstitusi berlatar belakang ekonomi atau sosial. Apalagi saat ini, MK juga sedang menguji undang-undang sejenis seperti UU Penanaman Modal.

 

Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Firmansyah Arifin berpendapat serupa. Menurut dia, MK membutuhkan perspektif yang beragam dalam menjalankan tugas menguji Undang-Undang. Apalagi, tidak ada aturan yang mewajibkan seorang hakim konstitusi harus berlatar belakang hukum tata negara. Perspektif ekonomi adalah salah satu yang, menurut Firman, perlu dipertimbangkan mengingat banyaknya UU bidang ekonomi yang telah, sedang, dan mungkin akan dijudicial review.

 

Harapan senada ternyata juga disampaikan Jimly Asshiddiqie pekan lalu. Menurut dia, ke depan MK membutuhkan hakim yang memiliki kompetensi di bidang ekonomi. Ke depan sangat dibutuhkan, ujarnya.

 

Selain kompetensi di bidang ekonomi, Jimly juga berharap akan ada hakim konstitusi berjenis kelamin perempuan. Dari kalangan perempuan, nama Prof. Maria Farida Indrati dan Prof. Maria SW Sumardjono sayang kalau dilewatkan. Maria Farida, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, adalah pakar bidang peraturan perundang-undangan. Latar belakang keilmuannya sangat menunjang untuk bertugas di MK. Sementara Prof. Maria SW Sumardjono adalah pakar pertanahan dari Universitas Gadjah Mada.

 

Masalahnya, apakah mereka bersedia mencalonkan diri menjadi hakim konstitusi?

 

Lantaran waktu yang masih panjang itu pula, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum melangkah terlalu jauh menyaring nama-nama yang berpeluang menjadi hakim konstitusi. Belum ada, kata anggota Komisi III DPR Benny K. Harman ketika ditanya proses seleksi calon usulan DPR.

 

Sesuai aturan, DPR berhak mengajukan tiga orang calon hakim konstitisi. Jumlah yang sama masing-masing diajukan oleh Mahkamah Agung dan Pemerintah. Formasi ini tentu tak akan berubah jika revisi UU No. 24 Tahun 2003 masih mempertahankan jumlah 9 orang hakim konstitusi. Seorang hakim konstitusi bertugas untuk masa jabatan lima tahun dan hanya dapat diperpanjang untuk satu kali masa jabatan berikutnya.

 

Isyarat perlunya pergantian sudah disampaikan Mahkamah Konstitusi. Ketua Mahkamah ini, Jimly Asshiddiqie sudah melayangkan surat kepada DPR, MA dan Pemerintah, mengingatkan proses pengajuan calon. Korespondensi Jimly bukan tanpa dasar. Tiga orang hakim konstitusi segera memasuki masa pensiun, yaitu Sudarsono, HM Laica Marzuki, dan Achmad Roestandi.

 

Menilik latar belakangnya, Sudarsono dan HM Laica Marzuki diusulkan oleh Mahkamah Agung (MA) –bersama Maruarar Siahaan. Sementara Achmad Roestandi merupakan usulan DPR. Meskipun dua dari hakim konstitusi yang akan memasuki usia pensiun adalah usulan MA, lembaga peradilan juga belum melakukan seleksi khusus. Kebutuhan hakim konstitusi dari MA itu kan masih lama, Mei 2008, kata Ketua MA Bagir Manan, dua pekan lalu.

 

Kalaupun kini sudah berlangsung, kata Bagir, seleksinya dilakukan secara alami karena menyeleksi hakim itu pekerjaan sehari-hari pimpinan MA. Pencarian tentang calon hakim konstitusi usulan MA yang layak dilakukan secara internal. Seleksi kita kan internal, tandas Bagir.

Halaman Selanjutnya:
Tags: