Hampir dua bulan saya mendapatkan 'teror' dari nomor tidak dikenal. Pelaku memperlihatkan alat kelaminnya melalui panggilan video seluler. Karena panik, saya langsung mematikan panggilan tanpa sempat merekam perbuatan pelaku untuk dijadikan bukti. Pasca kejadian tersebut, pelaku masih sering melakukan panggilan suara dan SMS yang menunjukkan hasrat seksual. Saya merasa sangat terganggu. Apakah pelaku dapat dipidanakan hanya dengan alat bukti yang saya miliki berupa screenshot pesan teks, serta rekaman panggilan suara? Saya cukup khawatir laporan tidak dapat diproses karena tidak adanya bukti berupa gambar/screenshot panggilan video ketika pelaku menampakkan alat kelaminnya. Selain UU Pornografi dan UU ITE, adakah kemungkinan pelaku dapat dijerat dengan UU lain?
Alat bukti yang dapat dijadikan acuan laporan adalah nomor handphone pelaku atau screenshot percakapan korban dengan pelaku yang menunjukan atau mengajak korban berhubungan badan. Korban dapat melapor ke pihak kepolisian atas tindakan ekshibisionispelaku tersebut.
Penjelasan selengkapnya dapat Anda klik di bawah ini.
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu dijelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan teror. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (“KBBI”) Daring, teror adalah usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Teror dalam kasus ini adalah menelepon atau memberikan pesan yang membuat Anda merasa takut dan jijik.
Selanjutnya, masih menurut KBBI Daring, pengertian ekshibisionisme adalah kelainan atau ketidakwajaran yang ditandai dengan kecenderungan memperlihatkan hal-hal yang tidak senonoh, seperti alat kelamin kepada orang lain untuk pemuasan diri.
Di samping itu, sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Dapatkah Penderita Eksibisionisme (Suka Menunjukkan Alat Kelamin) Dipidana?, Eksibisionisme termasuk dalam gangguan kejiwaan yang cukup langka dimana adanya perilaku orang yang dengan senang hati menunjukkan bagian paling pribadi yaitu alat kelaminnya pada semua orang. Berkenaan dengan kondisi kejiwaan terdakwa, hakimlah yang berkuasa memutuskan tentang dapat tidaknya terdakwa dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu meskipun ia dapat pula meminta nasihat dari dokter penyakit jiwa.
Dari definisi ekshibisionisme tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku ekshibisionisme adalah perilaku yang dapat dinilai melanggar kesopanan dan kesusilaan, dan dapat dikatakan telah berbuat cabul. Namun orang yang berbuat cabul belum tentu melakukan ekshibisionisme, karena berbuat cabul dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Perbuatan cabul sendiri dapat didefinisikan sebagai semua perbuatan yang melanggar kesopanan atau kesusilaan. Setiap perbuatan terhadap badan atau dengan badan sendiri maupun badan orang lain yang melanggar kesopanan, adalah perbuatan cabul, termasuk di dalamnya perbuatan persetubuhan di luar perkawinan.
Berdasarkan definisi perbuatannya, ekshibisionisme dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk perbuatan cabul. Namun sebagai tindak pidana, ekshibisionisme dan pencabulan merupakan bentuk tindak pidana yang berbeda, karena diatur di dalam ketentuan pasal yang berbeda.
Sebagai contoh, ekshibisionisme memenuhi unsur yang terdapat di dalam rumusan ketentuan Pasal 281 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(“KUHP”), yang berbunyi:
Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan;
barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.
Sedangkan pencabulan memenuhi unsur yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 289, 290, 292, 293, 294, 295, dan 296 KUHP. Masing-masing pasal berisi mengenai pencabulan dengan bentuk yang berbeda-beda.
Jerat Pidana Ekshibisionisme di dalam Undang-Undang Lain
Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hakmendistribusikan dan/atau mentransmisikandan/atau membuat dapat diaksesnya InformasiElektronik dan/atau Dokumen Elektronik yangmemiliki muatan yang melanggar kesusilaansebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1)dipidana dengan pidana penjara paling lama 6(enam) tahun dan/atau denda paling banyakRp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Menurut Martiman Prodjohamidjojo dalam buku Sistem Pembuktian dan Alat-alatBukti (hal. 19), sistem pembuktian hukum acara pidana menganut stelsel negatief wettelijk. Artinya, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian. Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.
Namun UU ITE telah mengatur bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Hal ini merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.[1]
Informasi elektronik sendiri adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.[2]
Sedangkan yang dimaksud dengan dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.[3]
Sebagai catatan, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 telah memutus bahwa frasa “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang–undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE.
Akhirnya, menurut hemat kami, alat bukti yang dapat dijadikan acuan laporan adalah nomor handphone pelaku atau screenshot percakapan Anda dengan pelaku yang menunjukan atau mengajak Anda berhubungan badan. Anda dapat melapor ke pihak kepolisian atas tindakan ekshibisionispelaku tersebut.