Adakah aturan soal memamerkan alat kelamin dan masturbasi di muka umum dikarenakan suatu penyakit yang disebut eksibisionisme? Apakah pelaku eksibisionis dapat dikenakan sanksi pidana? Terima kasih.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Eksibisionisme adalah kelainan atau ketidakwajaran yang ditandai dengan kecenderungan memperlihatkan hal-hal yang tidak senonoh, seperti alat kelamin kepada orang lain untuk pemuasan diri.
Ditinjau dari UU Pornografi, setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5 miliar. Lalu apakah jerat pidana tersebut dapat berlaku bagi pelaku eksibisionisme?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Dapatkah Penderita Eksibisionisme (Suka Menunjukkan Alat Kelamin) Dipidana? yang dibuat oleh Sovia Hasanah, S.H.dan pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 17 Maret 2017.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Definisi Eksibisionisme
Untuk menjawab pertanyaan Anda, kita perlu memahami terlebih dahulu pengertian dari eksibisionisme. Menurut KBBI, eksibisionismeadalah kelainan atau ketidakwajaran yang ditandai dengan kecenderungan memperlihatkan hal-hal yang tidak senonoh, seperti alat kelamin kepada orang lain untuk pemuasan diri.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Eksibisionisme merupakan salah satu kelainan perilaku seks berupa kepuasan seksual yang diperoleh dengan memamerkan alat kelaminnya dengan lawan jenisnya.[1] Gangguan eksibisionis ini merupakan gangguan dengan ciri-ciri adanya dorongan seksual untuk memperlihatkan bagian genital kepada orang lain.[2]
Hukumnya Mempertontonkan Alat Kelamin di Muka Umum
Merujuk padaUU Pornografi, telah diatur bahwa setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.[3] Yang dimaksud dengan "pornografi lainnya" antara lain kekerasan seksual, masturbasi, atau onani.[4]
Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5 miliar.[5]
Jadi, berdasarkan definisi eksibisionisme dan ketentuan pasal di atas, dapat kami jelaskan bahwa melakukan masturbasi di muka umum atau mempertontonkan alat kelamin di muka umum merupakan bentuk ketelanjangan sehingga pelakunya dapat dipidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5 miliar.
Namun demikian, eksibisionisme merupakan salah satu bentuk kelainan. Lalu, dapatkah penderita eksibisionisme dipidana? Untuk menjawabnya, kami akan mengacu pada ketentuan mengenai alasan penghapus pidana yang diatur dalam KUHP yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan berdasarkan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[6] yaitu tahun 2026.
Alasan Pemaaf Bagi Pelaku Tindak Pidana dengan Gangguan Mental
Disarikan dari artikel Apakah Seorang yang Gila Bisa Dipidana?, dalam ilmu hukum pidana dikenal dengan alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf, yaitu:
Alasan pembenar berarti alasan yang menghapus sifat melawan hukum suatu tindak pidana. Jadi, dalam alasan pembenar dilihat dari sisi perbuatannya (objektif). Misalnya, tindakan 'pencabutan nyawa' yang dilakukan eksekutor penembak mati terhadap terpidana mati (Pasal 50 KUHP dan Pasal 31 UU 1/2023).
Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi orang/pelakunya (subjektif). Misalnya, lantaran pelakunya tak waras atau gila sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu.
Mengenai salah satu contoh alasan pemaaf dapat dilihat pada Pasal 44 KUHP dan Pasal 38 dan 39 UU 1/2023, sebagai berikut:
KUHP
UU 1/2023
Pasal 44 ayat (1) KUHP
Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
Pasal 38 UU 1/2023
Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dapat dikurangi pidananya dan/atau dikenai tindakan.
Pasal 44 ayat (2) KUHP
Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
Pasal 39 UU 1/2023
Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyandang disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan.
Yang dimaksud dengan disabilitas mental dalam Pasal 38 UU 1/2023 adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain:[7]
psikososial, antara lain, skizofrenia, bipolar, depresi, anxiety, dan gangguan kepribadian; dan
disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial, antara lain, autis dan hiperaktif.
Sementara disabilitas intelektual adalah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain, lambat belajar, disabilitas grahita, dan down syndrome.[8]
Pelaku tindak pidana yang menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dinilai kurang mampu untuk menginsafi tentang sifat melawan hukum dari perbuatan yang dilakukan atau untuk berbuat berdasarkan keinsafan yang dapat dipidana.[9]
Sementara, dalam ketentuan Pasal 39 UU 1/2023, penyandang disabilitas mental dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau penyandang disabilitas intelektual derajat sedang atau berat, tidak mampu bertanggung jawab. Untuk dapat menjelaskan tidak mampu bertanggung jawab dari segi medis, perlu dihadirkan ahli sehingga pelaku tindak pidana dipandang atau dinilai tidak mampu bertanggung jawab.[10]
Menurut R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 60-61) sebab tidak dapat dihukumnya terdakwa berhubung perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya adalah karena:
Kurang sempurna akalnya. Yang dimaksud dengan perkataan “akal” di sini ialah kekuatan pikiran, daya pikiran, dan kecerdasan pikiran. Orang dapat dianggap kurang sempurna akalnya, misalnya: idiot, imbicil, buta-tuli, dan bisu mulai lahir. tetapi orang-orang semacam ini sebenarnya tidak sakit, tetapi karena cacat-cacatnya sejak lahir, maka pikirannya tetap sebagai kanak-kanak.
Sakit berubah akalnya. yang dapat dimasukkan dalam pengertian ini misalnya: sakit gila, histeri (sejenis penyakit saraf terutama pada wanita), epilepsi, dan bermacam-macam penyakit jiwa lainnya.
Berkenaan dengan kondisi kejiwaan terdakwa, menurut R Soesilo (hal. 61), hakimlah yang berkuasa memutuskan tentang dapat tidaknya terdakwa dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu meskipun ia dapat pula meminta nasehat dari dokter penyakit jiwa. Jika hakim berpendapat bahwa bahwa orang itu betul tidak dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, maka orang itu dibebaskan dari segala tuntutan pidana (ontslag van alle rechtsvervolgin).
Maka berdasarkan penjelasan di atas, menjawab pertanyaan Anda, terhadap seseorang yang memiliki kelainan eksibisionisme hakim harus merujuk pada pendapat seorang ahli kesehatan jiwa dan hasil pemeriksaan medis untuk mengetahui apakah kelainan tersebut dapat dipersamakan dengan sakit jiwa atau penyakit gangguan kejiwaan. Jika ternyata pelaku eksibisionisme tersebut betul dinilai tidak dapat bertanggung jawab atas perbuatannya, maka berlaku alasan pemaaf bagi pelaku, sehingga menurut KUHP ia tidak dapat dipidana atau dimasukkan ke rumah sakit sebagai waktu percobaan.
Sementara dalam UU 1/2023, jika penderita eksibisionisme terbukti dalam pemeriksaan medis sebagai penyandang disabilitas mental, maka dapat dikurangi pidananya. Sedangkan jika penderita eksibisionisme dalam kondisi kambuh yang akut dan disertai gambaran psikotik, maka dikenai tindakan.
Namun untuk mencegah terjadinya hal serupa, hakim dapat memerintahkan pelaku eksibisionisme tersebut untuk dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa selama masa percobaan maksimum 1 tahun sesuai ketentuan Pasal 44 ayat (2) KUHP atau dapat dikenai tindakan berdasarkan Pasal 103 ayat (2) UU 1/2023 berupa:
Ni Kadek Dwi Oktapiani dan Sagung Putri M.E. Purwani. Pengaturan Terhadap Perilaku Eksibisionisme Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jurnal Kertha Wicara, Vol. 9 No. 9 Tahun 2020;
R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor, 1991;
Eksibisionisme, yang diakses pada Senin 3 Maret 2023, pukul 13.31 WIB.
[1] Ni Kadek Dwi Oktapiani dan Sagung Putri M.E. Purwani, Pengaturan Terhadap Perilaku Eksibisionisme Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jurnal Kertha Wicara, Vol. 9 No. 9 Tahun 2020, hal. 2
[2] Ni Kadek Dwi Oktapiani dan Sagung Putri M.E. Purwani, Pengaturan Terhadap Perilaku Eksibisionisme Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jurnal Kertha Wicara, Vol. 9 No. 9 Tahun 2020, hal. 2 – 3