Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Praperadilan (2) yang dibuat oleh Si Pokrol dan dipublikasikan pertama kali pada Jumat, 2 Juni 2006.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Kewenangan Praperadilan
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan praperadilan, dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP disebutkan praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
- sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
- sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
- permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Senada dengan ketentuan a quo, dalam Pasal 77 KUHAP disebutkan pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
- sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
- ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Dari kedua pasal a quo, objek praperadilan yang semula ditentukan secara limitatif dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP jo. Pasal 77 KUHAP, dalam perkembangannya kemudian diperluas oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 meliputi sah tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan[1] dengan demikian yang menjadi obyek praperadilan ialah:
1. Sah tidaknya:
- Penangkapan;
- Penahanan;
- Penghentian penyidikan;
- Penghentian penuntutan;
- Penetapan tersangka;
- Penggeledahan;
- Penyitaan.
2. Ganti Rugi
3. Rehabilitasi
Tujuan utama dibentuknya lembaga praperadilan dalam KUHAP adalah untuk melakukan pengawasan secara horizontal atas segala tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum kepada tersangka dalam pemeriksaan di tingkat penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar tindakan yang dilakukan tidak bertentangan dengan ketentuan dan undang-undang yang berlaku.[2] Tegasnya yang menjadi domain bekerjanya lembaga praperadilan adalah berada pada tahap pra-ajudikasi.
Pejabat yang Melakukan Penahanan
Berkaitan dengan penahanan sebagai objek lembaga praperadilan, perlu dipahami mengenai pejabat yang berwenang melakukan penahanan. Dalam Pasal 20 KUHAP disebutkan:[3]
- Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas
perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan; - Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan;
- Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan.
Dari pasal a quo dapat disarikan bahwa pejabat yang berwenang melakukan penahanan adalah penyidik, penuntut umum, dan hakim. Kendati demikian pejabat yang dapat menjadi termohon dalam praperadilan mengenai sah tidaknya penahanan hanyalah penyidik dan penuntut umum, sebagaimana disinggung sebelumnya bahwa yang menjadi domain bekerjanya lembaga praperadilan adalah berada pada tahap pra-ajudikasi. Hakim tidak dapat menjadi termohon mengenai sah tidaknya penahanan dalam praperadilan, karena penahanan yang dilakukan oleh hakim adalah pada saat pemeriksaan pokok perkara,[4] tegasnya penahanan yang dilakukan oleh hakim sudah berada pada tahap ajudikasi, sehingga lembaga praperadilan sudah tidak lagi berwenang.
Bahkan dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP disebutkan dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur. Lebih lanjut melalui dijelaskan pasal a quo tidak memphnyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa suatu perkara sudah mulai diperiksa tidak dimaknai permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan.[5]
Sehingga, pejabat yang dapat menjadi termohon praperadilan mengenai sah tidaknya penahanan adalah penyidik dan penuntut umum, sedangkan kepala Lapas sebagaimana Anda tanyakan tidak dapat menjadi termohon praperadilan mengenai sah tidaknya penahanan, hal ini karena ia tidak mempunyai kewenangan melakukan penahanan, kendati pun penahanan terhadap tersangka ditempatkan (dititipkan) di Lapas, kewenangan penahanan tetap melekat pada pejabat pada setiap tingkat pemeriksaan (penyidik/penuntut umum) yang melakukan penahanan tersebut. Dengan demikian, kasus praperadilan tidak dapat dipakai untuk mempersoalkan tahanan yang belum dikeluarkan oleh kepala Lapas.
Pemohon, Termohon, dan Alasan Praperadilan
Guna mempermudah pemahaman Anda, kami rangkum tentang pemohon, termohon, dan alasan praperadilan melalui tabel berikut ini.[6]
Pemohon | Termohon | Alasan Praperadilan |
Tersangka/ keluarga/ penasihat hukum | - Kapolri/Kapolda/Kapolres/Kapolsek;
- Jaksa Agung/Kajati/Kajari;
- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
| Sah atau tidaknya: - Penggeledahan;
- Penyitaan;
- Penangkapan;
- Penahanan;
- Penetapan tersangka.
|
Penyidik | Jaksa Agung/Kajati/Kajari | Penghentian penuntutan, misalnya kejaksaan tidak melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri padahal perkara sudah dinyatakan P-21. |
Penuntut Umum | Kapolri/Kapolda/Kapolres/Kapolsek | Penghentian penyidikan, misalnya penyidik tidak menyerahkan berkas perkara ke Kejaksaan padahal sudah ada surat pemberitahuan dimulainya penyidikan ke kejaksaan. |
Pihak ketiga | - Kapolri/Kapolda/Kapolres/Kapolsek;
- Jaksa Agung/Kajati/Kajari.
| - Penghentian penyidikan;
- Penghentian penuntutan.
|
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Putusan:
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014;
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015.
Referensi:
- Andi Muhammad Sofyan, dkk. Hukum Acara Pidana. Jakarta: Kencana, 2014;
- Didik Endro Purwoleksono. Hukum Acara Pidana. Surabaya: Airlangga University Press, 2015.
[2] Andi Muhammad Sofyan, dkk. Hukum Acara Pidana. Jakarta: Kencana, 2014, hal. 183
[6] Didik Endro Purwoleksono. Hukum Acara Pidana. Surabaya: Airlangga University Press, 2015, hal. 84-85