1. Kebutuhan tenaga kerja untuk suatu perusahaan, untuk suatu pekerjaan, untuk suatu kegiatan, atau pada suatu job tertentu sangat ditentukan oleh berat-ringannya beban kerja. Ukuran beban kerja diukur sesuai jenis dan sifat pekerjaan/kegiatan atau jabatan itu, atas dasar analisis jabatan (job-analysis). Bagaimana menilai beban kerja di suatu perusahaan dan bagaimana menentukan kompetensi tenaga kerjanya, Direksi-lah yang -berwenang memutuskan segalanya. Artinya, berapa orang tenaga kerja yang dibutuhkan, kualifikasi pendidikan, kompetensi kerja bagaimana, pada grade berapa, dan berapa bayaran upahnya, serta apa saja tunjangan dan fasilitasnya, dan banyak lagi hal penilaian lainnya, semua itu adalah urusan Direksi atau pimpinan perusahaan (board of management).
Dengan demikian keluhan teman Saudara yang merasa berat dengan beban kerja pada pekerjaan yang dilakukannya, dan mengajukan permintaan penambahan karyawan, kemungkinan ada kesalahan dalam penentuan requirement/kualifikasi jabatan dan kompetensi kerja yang dimilikinya,yang tidak sebanding dengan beban kerja yang diembannya.
klinik Terkait:
Demikian juga teman Saudara mengharapkan tambahan karyawan, dan berharap bisa mengurangi potensi kecelakaan kerja. Asumsi saya, bahwa dengan terbatasnya jumlah karyawan, potensi resiko kerja (potensial risk) akan senantiasa mengancam. Walaupun di balik permintaan penambahan karyawan itu, teman Saudara juga meminta tambahan upah yang agaknya kontra produktif.
Berkenaan dengan permasalahan teman Saudara, sepengetahuan saya tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai pembatasan penggunaan karyawan yang bekerja pada suatu ketinggian, baik pada bangunan gedung bertingkat, atau pada suatu pembangunan tower.
Yang lebih banyak diatur dan berkenaan dengan tenaga kerja adalah perihal keselamatan dan kesehatan kerja (“K3”), khususnya mengenai alat pelindung diri (“APD”) guna mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja (KK) yang dikaitkan dengan jaminan sosial tenaga kerja (“jamsostek”).
Beberapa peraturan perundang-undangan yang menagtur mengenai K3 yang berhubungan dengan pekerjaan pembangunan gedung bertingkat atau tower, yang termasuk dalam katagori pekerjaan konstruksi, antara lain diatur dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (UUJK) yang menyebutkan, bahwa penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, wajib memenuhi ketentuan mengenai keamanan dan keselamatan serta kesehatan kerja, perlindungan tenaga kerja guna menjamin terwujudnya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
berita Terkait:
Selanjutnya, dalam Pasal 33 ayat (2) huruf c UUJK dijelaskan lebih jauh, bahwa salah satu tugas Masyarakat Jasa Konstruksi atau MJK (termasuk perusahaan jasa konstruksi), adalah melakukan registrasi tenaga kerja di bidang konstruksi yang meliputi klasifikasi, kualifikasi, dan sertifikasi keterampilan dan keahlian kerja.
Dalam kaitan itu, Pasal 30 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2010, mengatur lebih lanjut tugas MJK, bahwa guna menjamin terwujudnya tertib penyelenggaraan jasa konstruksi dan penyelenggara pekerjaan konstruksi, wajib memenuhi ketentuan-ketentuan (antara lain): keamanan, keselamatan dan kesehatan (tenaga kerja) di tempat kerja konstruksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan memberikan perlindungan sosial tenaga kerja (“jamsostek”) dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dimaksudkan UUJK tersebut, adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (“UU 1/1970”).
Dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan f UU 1/1970 antara lain disebutkan, bahwa dengan peraturan perundang-undangan, ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja untuk mencegah dan mengurangi kecelakaan, dan memberi alat-alat pelindung diri (APD) kepada para pekerja dan diberikan secara cuma-cuma, yang meliputi:
a. alat pelindung kepala (seperti, safety helmet, topi, tudung kepala, pengaman rambut danlain-lain);
b. alat pelindung mata dan muka (seperti, sun-glass, goggles, spectacles, face-shield, masker selam, full face masker dan lain-lain);
c. alat pelindung telinga (seperti, pereda kebisingan: ear-plug, ear muff);
d. alat pelindung pernafasan dan perlengkapannya (seperti: masker, respirator, katrit, kanister, re-breather, airline respirator, continues air supply machine atau air hose mask respirator, self-contained underwater breathing apparatus (SCUBA), self-contained breathing apparatus (SCBA), emergency breathing apparatus);
e. alat pelindung tangan (seperti, sarung tangan);
f. alat pelindung kaki (seperti, sepatu karet);
g. pakaian pelindung (seperti vests atau rompi, apron atau coveralls/pencegah kebakaran, jacket dan lain-lain);
h. alat pelindung jatuh (seperti, harnes, karabiner, lanyard, safety rope, rope clamps, decender, mobile fall arrester dan lain-lain);
i. pelampung (bagi pekerja di perairan/laut: life jacket, life vest, bouyancy control device).
[vide Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per-08/Men/VII/2010 tentang Alat Pelindung Diri]
Dengan demikian, persyaratan pelaksanaan pekerjaan yang berhubungan dengan ketinggian (pada konstruksi bangunan bertingkat dan tower) yang berkenaan dengan tenaga kerja, secara umum hanya mengatur K3 dan mengantisipasi kecelakaan kerja melalui penggunaan APD serta jaminan sosialnya. Artinya, tidak mengatur mengenai jumlah (dan komposisi) tenaga kerja serta besaran upahnya.
2. Berdasarkan Pasal 137 dan Pasal 1 angka 23 serta Pasal 143 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU 13/2003”)jo.Pasal 25 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia, bahwa mogok kerja adalah merupakan hak dasar atau hak azasi yang diberikan oleh undang-undang kepada pekerja/buruh untuk mengekspresikan keinginannya melalui aksi strike (menghentikan pekerjaan) atau slowdown (memperlambat pekerjaan) sepanjang dilakukan secara sah, tertib dan damai.
Yang dimaksud dengan mogok kerja secara sah, adalah mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan prosedur (waktu dan pemberitahuan) yang ditentukan dan dilakukan akibat gagalnya perundingan [vide Pasal 3 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.Kep-232/Men/2003 Tahun 2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Yang Tidak Sah – “Kepmenakertrans No.Kep-232/Men/2003”].
Walaupun merupakan hak dasar, namun pelaksanaan hak mogok kerja tersebut harus memperhatikan beberapa ketentuan dan persyaratan sehingga tidak dianggap sebagai mogok kerja tidak sah. Demiikian juga harus mempertimbangkan alasan tuntutannya, apakah tuntutan normatif atau tuntutan non-normatif. Semua itu membedakan akibat dan konsekuensinya, terutama menyangkut kehadiran dan/atau diberikan upah atau tidak pekerja/buruh yang ikut dalam pelaksanaan mogok kerja.
Berkenaan dengan kasus teman Anda, dimanapara karyawan hendak melakukan mogok kerja menuntut tambahan jumlah karyawan dalam rangka keamanan kerja (K3) dan menuntut kenaikan upah demi kinerja ke depan, hemat saya memang bisa saja dikategorikan tuntutan normatif jika berkenaan dengan penggunaan APD, tuntutan kenaikan upah berdasarkan ketentuan upah minimum dan sesuai struktur dan skala upah (yang telah disepakati).
Namun jika tuntutannya tidak normatif dan tidak ada kaitan dengan norma APD serta norma pengupahan, dapat dilakukan mogok sepanjang prosedural, akan tetapi tidak diberikan upah, dan bahkan bisa dikenakan sanksi dianggap mangkir serta tetap berlaku azas no work no pay [vide a-contrario dari ketentuan Pasal 145 UU 13/2003 dan Pasal 7 ayat (1) Kepmenakertrans No.Kep-232/Men/2003].
Permasalahannya, bagaimana jika pihak perusahaan langsung memutuskan hubungan kerja dengan para karyawan yang bersangkutan dengan alasan tidak mematuhi aturan perusahaan?Menurut Pasal 143 UU 13/2003, siapapun tidak boleh menghalang-halangi pekerja/buruh melaksanakan mogok kerja sepanjang dilakukan (prosedural) secara sah, tertib dan damai. Termasuk dalam kategori menghalang-halangi, menjatuhkan sanksi hukuman, melakukan intimidasi, atau perusahaan melakukan mutasi bagi karyawan yang bersangkutan [lihat Penjelasan Pasal 143 ayat (1) UU 13/2003].
Dengan demikian tindakan PHK yang langsung dilakukan oleh perusahaan terhadap karyawan yang melakukan aksi mogok dengan alasan para karyawan tidak mematuhi aturan perusahaan (peraturan perusahaan), menurut hemat saya terlalu berlebihan. Karena untuk menghalang-halangi buruh melakukan mogok kerja saja tidak diperkenankan, terlebih melakukan PHK. Kecuali aturan dimaksud memang merupakan prosedural mogok kerja dalam peraturan perusahaan/perjanjian kerja bersama dan pelaksanaan PHK telah dilakukan sesuai mekanisme perundingan dan telah mencapai kesepakatan sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 151 ayat (2) UU 13/2003.
Hak-hak yang dapat diperoleh karyawan yang di-PHK karena tidak mematuhi Peraturan Perusahaan (dengan masa kerja 2 (dua) tahun), apabila memenuhi syarat antara lain adanya surat peringatan (SP) dan mekanisme bipartit, maka karyawan yang di-PHK berhak atas uang pesangon dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 161 ayat (3) jo. Pasal 156 ayat (2) dan (4) UU 13/2003. Jika belum bekerja 3 (tiga) tahun dalam perusahaan tersebut, maka karyawan yang bersangkutan tidak berhak atasuang pengharagaan masa kerja.(vide Pasal 156 ayat (3) UU 13/2003).
Dasar Hukum:
3. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia;
5. Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2010;
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per-08/Men/VII/2010 tentang Alat Pelindung Diri;
7. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.Kep-232/Men/2003 Tahun 2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Yang Tidak Sah.