Jerat Hukum bagi Polisi Gadungan
Pidana

Jerat Hukum bagi Polisi Gadungan

Bacaan 6 Menit

Pertanyaan

Jika ada seorang yang mengaku sebagai anggota POLRI, padahal setelah dicek dia bukan anggota POLRI, dan dia kemudian melakukan penipuan kepada warga di sekitar rumahnya. Apakah ada sanksi yang mengatur bagi seseorang yang mengaku sebagai anggota TNI/POLRI?

 

Intisari Jawaban

circle with chevron up

Secara khusus, tidak ada peraturan perundang-undangan yang memberikan sanksi bagi seseorang yang mengaku sebagai anggota polisi padahal bukan. Meski tidak diatur secara spesifik, perbuatan tersebut dalam praktiknya digolongkan sebagai tindak pidana penipuan menurut Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana karena dibarengi dengan melakukan penipuan kepada warga dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

Selain itu, polisi gadungan juga bisa dijerat menggunakan pasal lainnya tergantung dari rentetan perbuatan yang dilakukan, misalnya pasal pemalsuan surat karena memakai Kartu Tanda Anggota (KTA) polisi palsu.

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

Ulasan Lengkap

 

Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Sanksi bagi Polisi Gadungan yang pertama kali dipublikasikan pada 7 November 2013.

 

Jerat Hukum Polisi Gadungan

Sebenarnya tidak ada peraturan khusus tentang sanksi bagi orang yang mengaku atau berpura-pura menjadi anggota Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), atau yang lebih dikenal dengan sebutan polisi gadungan. Pasal yang tepat untuk dijatuhkan kepada polisi gadungan atau orang yang mengaku sebagai anggota TNI/POLRI padahal sebenarnya bukan, menurut hemat kami adalah pasal penipuan yang terdapat dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi:

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Menurut R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, kejahatan ini dinamakan “penipuan”. Penipu itu pekerjaannya (hal. 261):

  1. membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang;
  2. maksud pembujukan itu ialah: hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak;
  3. membujuknya itu dengan memakai:
    1. nama palsu atau keadaan palsu; atau
    2. akal cerdik (tipu muslihat); atau
    3. karangan perkataan bohong.

Lebih lanjut, R. Soesilo menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “nama palsu” adalah nama yang bukan namanya sendiri, sedangkan “keadaan palsu” misalnya mengaku dan bertindak sebagai agen polisi, notaris, pastor, pegawai kotapraja, pengantar surat pos, dan sebagainya yang sebenarnya ia bukan pejabat itu.

Hal serupa juga dikatakan oleh S.R. Sianturi dalam penjelasannya terkait Pasal 378 KUHP, dalam bukunya yang berjudul Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya (hal. 634). Sianturi menjelaskan bahwa yang dikatakan memakai keadaan (pribadi) palsu yaitu apabila si petindak itu bersikap seakan-akan padanya ada suatu kekuasaan, kewenangan, martabat, status, atau jabatan yang sebenarnya tidak dimilikinya, atau mengenakan pakaian seragam tertentu, tanda pengenal tertentu yang dengan mengenakan hal itu, orang lain akan mengira bahwa ia mempunyai suatu kedudukan/pangkat tertentu yang mempunyai suatu kekuasaan atau kewenangan, dan lain sebagainya. Misalnya si petindak memperkenalkan dirinya sebagai pejabat kepolisian, agen suatu perusahaan, putra dari seseorang yang cukup terkenal, tukang memperbaiki video, televisi, penagih rekening, dan lain sebagainya.

Melihat uraian di atas, polisi gadungan dapat dipidana berdasarkan Pasal 378 KUHP jika orang tersebut juga membujuk orang lain untuk menyerahkan sesuatu dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

Pernah juga dijelaskan dalam artikel Konsekuensi Hukum Jika Membayar Suap Untuk Jadi Polisi, yang pada intinya menceritakan tentang penerimaan suap anggota kepolisian dalam proses penerimaan anggota polisi. Dalam artikel tersebut dikatakan bahwa jika oknum polisi yang menjanjikan dapat menjadi polisi tanpa tes dengan membayar sejumlah uang ternyata memang seorang polisi, maka lebih cocok dikenakan tindak pidana suap. Namun jika oknum polisi tersebut ternyata bukan seorang polisi, atau dengan kata lain seorang polisi gadungan, maka lebih cocok jika dikenakan Pasal 378 KUHP.

Selain itu, kami berpendapat polisi gadungan juga bisa dijerat pasal tambahan tergantung dari rentetan perbuatan yang ia lakukan saat berpura-pura sebagai polisi. Misalnya, jika si polisi gadungan memakai Kartu Tanda Anggota (KTA) polisi palsu untuk meyakinkan korban, maka ia juga bisa dikenakan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat.

Baca juga: Unsur Pidana dan Bentuk Pemalsuan Dokumen

Dalam praktik, sering ditemui juga polisi gadungan yang membawa senjata api tanpa mempunyai izin yang sah. Dalam hal ini, polisi gadungan tersebut dapat dijerat Pasal 14 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1948 tentang Mencabut Peraturan Dewan Pertahanan Negara Nomor 14 dan Menetapkan Peraturan tentang Pendaftaran dan Pemberian Idzin Pemakaian Senjata Api dan/atau Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Mengubah 'Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen' (Stbl. 1948 Nomor 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948.

Baca juga: Sanksi Hukum Penyalahgunaan Senapan Angin = Senjata Api?

 

Contoh Kasus

Selanjutnya berikut kami berikan contoh kasus polisi gadungan. Bermula dari seorang pria berinisial BS yang mengaku sebagai anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror yang melakukan perampasan telepon seluler. BS mengaku mendapat atribut polisi dan Densus 88 dari seorang kenalannya. Penjelasan lebih lanjut mengenai kasus ini dapat Anda simak dalam artikel Polisi Bekuk Anggota Densus 88 Gadungan.

Contoh kasus lain dapat dilihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Tasikmalaya Nomor 221/Pid.B/2011/PN.Tsm di mana terdakwa dan temannya mengaku sebagai aparat berwajib dan bergaya layaknya polisi (hal. 29). Ia membantu temannya melakukan tindak pidana penipuan membujuk korban supaya memberikan suatu barang berupa satu unit sepeda motor dengan berpura-pura sebagai polisi (hal. 30-31).

Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana membantu melakukan penipuan (hal. 37).

Dari penjelasan di atas dapat kami simpulkan bahwa secara khusus memang tidak ada peraturan perundang-undangan yang memberikan sanksi bagi mereka yang mengaku sebagai anggota polisi. Namun, perbuatan tersebut dalam praktiknya digolongkan sebagai tindak pidana penipuan sesuai Pasal 378 KUHP karena dibarengi dengan melakukan penipuan kepada warga dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Selain itu, polisi gadungan juga bisa dikenakan pasal lain tergantung dari rentetan perbuatan yang dilakukan.

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

 

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

 

Dasar hukum:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1948 tentang Mencabut Peraturan Dewan Pertahanan Negara Nomor 14 dan Menetapkan Peraturan tentang Pendaftaran dan Pemberian Idzin Pemakaian Senjata Api;
  3. Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Mengubah 'Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen' (Stbl. 1948 Nomor 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948.

 

Putusan:

Putusan Pengadilan Negeri Tasikmalaya Nomor 221/Pid.B/2011/PN.Tsm.

 

Referensi:

R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1994.

Tags: