Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul yang sama yang dibuat oleh Dimas Hutomo, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Kamis, 18 Juli 2019.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
klinik Terkait :
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Fungsi Surat Izin Mengemudi
Pada dasarnya menurut Pasal 77 ayat (1) UU LLAJ setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi (“SIM”) sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dikemudikan.
Ada 2 fungsi SIM menurut Pasal 86 UU LLAJ, yaitu:
- Sebagai bukti kompetensi mengemudi.
- Sebagai registrasi pengemudi kendaraan bermotor yang memuat keterangan identitas lengkap pengemudi. Data pada registrasi pengemudi ini dapat digunakan untuk mendukung kegiatan penyelidikan, penyidikan, dan identifikasi forensik kepolisian.
SIM berbentuk kartu elektronik atau bentuk lain, yang berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia selama 5 tahun dan dapat diperpanjang.[1]
SIM terdiri atas 2 jenis, yaitu:[2]
Rekomendasi Berita :
- SIM kendaraan bermotor perseorangan digolongkan menjadi:[3]
- SIM A berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak melebihi 3.500 kilogram;
- SIM B I berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari 3.500 kilogram;
- SIM B II berlaku untuk mengemudikan kendaraan alat berat, kendaraan penarik, atau kendaraan bermotor dengan menarik kereta tempelan atau gandengan perseorangan dengan berat yang diperbolehkan untuk kereta tempelan atau gandengan lebih dari 1.000 kilogram;
- SIM C berlaku untuk mengemudikan sepeda motor; dan
- SIM D berlaku untuk mengemudikan kendaraan khusus bagi penyandang cacat.
- SIM kendaraan bermotor umum, digolongkan menjadi:[4]
- SIM A Umum berlaku untuk mengemudikan kendaraan bermotor umum dan barang dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak melebihi 3.500 kilogram;
- SIM B I Umum berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang umum dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari 3.500 kilogram;
- SIM B II Umum berlaku untuk mengemudikan kendaraan penarik atau kendaraan bermotor dengan menarik kereta tempelan atau gandengan dengan berat yang diperbolehkan untuk kereta tempelan atau gandengan lebih dari 1.000 kilogram.
SIM didapatkan setelah mengajukan permohonan pembuatan SIM dengan harus memenuhi persyaratan usia dan persyaratan khusus ke pihak kepolisian dan dinyatakan lulus ujian mengemudi. SIM diterbitkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.[5]
Apakah Memalsukan SIM termasuk Tindak Pidana Pemalsuan Surat?
Ketentuan pasal mengenai dugaan tindak pidana pemalsuan surat telah ditegaskan dalam ketentuan KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan UU 1/2023 yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,[6] yakni pada tahun 2026 yaitu sebagai berikut.
Pasal 263 KUHP | Pasal 391 UU 1/2023 |
|
|
R Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 195) menerangkan yang diartikan dengan surat dalam bab ini adalah segala surat, baik yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin tik, dan lain-lainnya. Surat yang dipalsukan itu harus surat yang:
- dapat menimbulkan sesuatu hak (misalnya ijazah, karcis tanda masuk, surat andil, dan lain-lain);
- dapat menerbitkan suatu perjanjian (misalnya surat perjanjian piutang, perjanjian jual beli, perjanjian sewa, dan sebagainya);
- dapat menerbitkan suatu pembebasan utang (kuitansi atau surat semacam itu); atau
- surat yang digunakan sebagai keterangan bagi suatu perbuatan atau peristiwa (misalnya surat tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, buku harian kapal, surat angkutan, obligasi, dan lain-lain).
Adapun bentuk-bentuk pemalsuan surat itu menurut Soesilo dilakukan dengan cara:
- Membuat surat palsu yaitu membuat isinya bukan semestinya (tidak benar).
- Memalsu surat yaitu mengubah surat sedemikian rupa sehingga isinya menjadi lain dari isi yang asli. Caranya bermacam-macam, tidak senantiasa surat itu diganti dengan yang lain, dapat pula dengan cara mengurangkan, menambah atau mengubah sesuatu dari surat itu.
- Memalsu tanda tangan juga termasuk pengertian memalsu surat.
- Penempelan foto orang lain dari pemegang yang berhak. Misalnya foto dalam ijazah sekolah.
Berdasarkan penjelasan tersebut mengenai SIM palsu berarti dapat digunakan sebagai keterangan bagi suatu perbuatan atau peristiwa, perbuatan tersebut dalam hal ini kompetensi dalam mengendarai kendaraan bermotor. Jadi dengan SIM palsu, seseorang bisa dianggap kompeten untuk mengendarai kendaraan bermotor. Padahal yang memiliki kewenangan menerbitkan SIM adalah kepolisian.
Selain itu, harus ada unsur yang menyebabkan kerugian, menurut hemat kami pihak kepolisian di sini menjadi merugi atas tindakan tersebut. Sehingga sejalan dengan penjelasan R. Soesilo, bahwa menurut kami membuat SIM palsu dapat dipidana dengan Pasal 263 ayat (1) KUHP.
Contoh Kasus
Sebagai contoh kasus pemalsuan SIM dapat kita lihat dalam Putusan PN Cibinong No. 693/Pid.B/2014/PN Cbi, para terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana pemalsuan surat yang dilakukan dengan cara memalsukan SIM B1. Akibat adanya perbuatan para terdakwa yang membuat SIM B1 palsu tersebut menimbulkan kerugian pada pihak kepolisian (negara) dalam hal pemasukan uang pembuatan SIM (hal. 20).
Majelis Hakim dalam putusannya dengan memperhatikan Pasal 263 ayat (1) jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP menjatuhkan pidana kepada para terdakwa dengan pidana penjara masing-masing selama 1 tahun dan 3 bulan (hal. 23).
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja;
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Putusan:
Pengadilan Negeri Cibinong Nomor 693/Pid.B/2014/PN Cbi.
[1] Pasal 85 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”)
[2] Pasal 77 ayat (2) UU LLAJ
[3] Pasal 80 UU LLAJ
[4] Pasal 82 UU LLAJ
[5] Pasal 83 ayat (1), (2) dan (3), Pasal 87 ayat (1) dan (2) UU LLAJ
[6] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)
[7] Pasal 79 ayat (1) huruf f UU 1/2023