Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan HAM dan Kebebasan Beragama di Indonesia yang dibuat olehShanti Rachmadsyah, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 17 September 2010.
Kebebasan Memeluk Agama atau Kepercayaan adalah Hak Setiap Warga Negara
klinik Terkait:
Pada dasarnya kebebasan memeluk agama atau kepercayaan adalah hak setiap warga negara. Dasar hukum yang menjamin kebebasan memeluk agama atau kepercayaan di Indonesia ada pada konstitusi kita, yaitu Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”):
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Selanjutnya, kebebasan memeluk kepercayaan tercantum dalam Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yang selengkapnya berbunyi:
Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.[1] Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.[2]
Akan tetapi, meskipun kebebasan memeluk agama atau kepercayaan adalah hak setiap warga negara dan termasuk sebagai hak asasi, ini bukan berarti tanpa pembatasan, karena setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain.[3] Pelaksanaan hak tersebut wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan dalam undang-undang.[4] Jadi, hak asasi manusia tersebut dalam pelaksanaannya tetap patuh pada pembatasan-pembatasan yang diatur dalam undang-undang.
berita Terkait:
Lukman Hakim Saifuddin dan Patrialis Akbar, selaku mantan anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, sebagaimana dijelaskan dalam Ketentuan HAM dalam UUD Dikunci oleh Pasal 28J, pernah menceritakan kronologi dimasukkannya 10 pasal baru yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia (“HAM”) dalam amandemen kedua UUD 1945, termasuk di antaranya pasal-pasal yang kami sebutkan di atas. Patrialis berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan soal HAM dari Pasal 28A sampai 28I UUD 1945 telah dibatasi atau “dikunci” oleh Pasal 28J UUD 1945 (hal. 1 – 2).
Pembatasan pelaksanaan HAM ini juga dibenarkan oleh Maria Farida, pakar ilmu perundang-undangan dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Maria menyatakan bahwa hak asasi manusia bisa dibatasi, sepanjang hal itu diatur dalam undang-undang. Pendapat Maria selengkapnya mengenai hal ini dapat Anda simak dalam Hukuman Mati Senafas dengan Semangat Perlindungan HAM.
Siapa yang Berwenang Menyatakan Suatu Aliran Kepercayaan Sesat?
Menjawab pertanyaan Anda selanjutnya, jika kita merujuk bunyi Pasal 1 Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (“PNPS 1/1965”) menyebutkan:
Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan dan mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Bagi yang melanggar ketentuan di atas, akan diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.[5]
Lalu, siapa yang berwenang menyimpulkan aliran kepercayaan tertentu itu sesat/terlarang? Kewenangan ini ada pada Presiden, setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.[6] Pada praktiknya, ada juga Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (“Bakorpakem”) yang melakukan pengawasan. Sebenarnya Bakorpakem tersebut adalah Tim Koordinasi Pengawasan Kepercayaan yang awalnya dibentuk berdasar Keputusan Jaksa Agung Nomor: KEP-004/J.A/01/1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat yang saat ini telah dicabut dengan Keputusan Jaksa Agung Nomor: KEP-146/A/JA/09/2015 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Aliran Keagamaan dalam Masyarakat Tingkat Pusat.
Dalam praktiknya, tim tersebut bertugas mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang tumbuh dan hidup di kalangan masyarakat, dan kemudian akan menghasilkan suatu surat rekomendasi untuk Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri, mengenai tindakan apa yang harus diambil. Contohnya sebagaimana yang dijelaskan dalam artikel Bakorpakem Rekomendasikan Peringatan Keras kepada Ahmadiyah.
Kemudian, dasar hukum apa yang menegaskan bahwa agama di Indonesia hanya ada enam? Dalam Penjelasan Pasal 1 PNPS disebutkan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius).
Tapi, hal demikian tidak berarti bahwa agama-agama lain dilarang di Indonesia. Penganut agama-agama di luar enam agama di atas mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dan dibiarkan keberadaanya, selama tidak melanggar peraturan perundang-undangan di Indonesia. Mengingat, kebebasan memeluk agama atau kepercayaan adalah hak setiap warga negara.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama;
- Keputusan Jaksa Agung Nomor: KEP-146/A/JA/09/2015 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Aliran Keagamaan dalam Masyarakat Tingkat Pusat.
[1] Pasal 28I ayat (1) UUD 1945
[2] Pasal 29 ayat (2) UUD 1945
[3]Pasal 28J ayat (1) UUD 1945
[4]Pasal 28J ayat (2) UUD 1945
[5] Pasal 2 ayat (1) PNPS 1/1965
[6] Pasal 2 ayat (2) PNPS 1/1965