Konsep kuncinya adalah asas teritorialitas. Dalam hukum Internasional dikenal beberapa asal kedaulatan:
1. Berdasarkan wilayah, misalnya garis batas negara (territorial sovereignty).
2. Berdasarkan nasionalitas aktif, misalnya jika warga negara Indonesia melakukan kejahatan di negara lain maka lembaga peradilan Indonesia mempunyai yurisdiksi atas kejahatan tersebut.
3. Berdasarkan nasionalitas pasif, contoh warga negara Indonesia dikenakan sebuah kejahatan, misalnya pelanggaran hak politik dan sipil dalam ICCPR, lain maka lembaga peradilan Indonesia mempunyai yurisdiksi atas kejahatan tersebut.
4. Yurisdiksi universal yang umumnya hanya diterapkan dalam jenis kejahatan internasional atau yang masuk dalam kategori peremptory norms. Contoh, genosida, perbudakan, dan pembajakkan Kapal Lau (piracy dalam konteks United Nations Convention of the Law Of the Seas). Konsep ini memungkinkan negara ketiga (bukan tempat terjadinya kejahatan atau tidak ada warga negara yang melakukan atau menderita atas kejahatan tersebut) untuk membuktikan legal standing dan mengadili kejahatan tersebut dalam wilayahnya sendiri.
Meskipun tidak secara eksplisit dinyatakan namun dalam prakteknya asas teritorialitas merupakan asas terkuat jika terjadi konflik jurisdiksi antara keempat asas di atas.
berita Terkait:
Perlu diketahui bahwa pesawat sipil bukan perpanjangan teritorialitas dari sebuah negara sebagaimana halnya lingkungan duta besar dan kapal perang berbendera Indonesia untuk tujuan exercise of sovereign rights. Prinsip ini dikukuhkan dalam pasal 1 Convention of International Civil Aviation atau lebih dikenal sebagai Chicago Convention 1944 yang menyatakan;
“The contracting States recognize that every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory.”
Dalam hal pesawat terbang sipil berasal dari Indonesia dengan maskapai penerbangan Indonesia, Garuda misalnya, maka Indonesia tidak serta merta mempunyai yurisdiksi untuk mengadili kejahatan dalam pesawat. Tetapi, asas yang bisa digunakan pengadilan Indonesia adalah nasionalitas pasif karena yang dibunuh adalah warga Indonesia. Asas yang bisa digunakan Pengadilan Inggris adalah nasionalitas aktif, sementara pengadilan Filipina bisa menggunakan asas teritorialitas.
Secara normatif ketiga negara bisa melakukan penyidikan hingga pemeriksaan pengadilan. Artinya, tidak ada pelanggaran norma hukum internasional jika salah satu negara melaksanakan hak berdaulatnya.
Permasalahan yang muncul adalah apakah ada nebis in idem atau double jeopardy jika Pengadilan Indonesia, Inggris, dan Filipina menjatuhkan hukuman kepada orang yang sama. Umumnya, pengaturan ini akan dilakukan dengan diplomasi atau melalui perjanjian, misalnya dengan perjanjian ekstradisi.
Kesimpulan, Hukum Inggris, Filipina dan Indonesia bisa diterapkan dalam kasus ini. Pertanyaan penting adalah jika terjadi konflik yurisdiksi maka apa yang harus dilakukan? Umumnya, negara-negara itu bisa menegosiasikannya atau kita harus merujuk pada perjanjian ekstradisi bilateral maupun multilateral ketiga negara tersebut.
Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.