Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Diana Kusumasari, S.H., M.H. pada Kamis, 09 Juni 2011, dan dimutakhirkan pada Senin, 16 Januari 2017 oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
klinik Terkait :
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Tindak Pidana Zina
Dari penjelasan Anda, kami dapat simpulkan bahwa hubungan yang Anda lakukan dengan wanita (pacar) yang telah bersuami dikategorikan sebagai zina. R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Sedangkan yang dimaksud dengan persetubuhan ialah perpaduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki masuk ke dalam anggota perempuan, sehingga mengeluarkan air mani. Supaya masuk dalam pasal perzinaan, maka persetubuhan harus dilakukan dengan suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak (hal. 209).
Pelaku perzinaan dapat dipidana berdasarkan Pasal 284 KUHP lama yang saat artikel ini terbit masih berlaku dan juga berdasarkan KUHP baru yaitu Pasal 411 UU 1/2023 yang berlaku 3 tahun setelah diundangkan.[1] Berikut adalah bunyi pasalnya:
Pasal 284 KUHP | Pasal 411 UU 1/2023 |
b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27
b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.
|
|
Pasal 284 KUHP menggambarkan bahwa pidana perzinaan adalah delik aduan absolut. Artinya, pelaku tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari suami/istri yang menjadi korban/dirugikan.[3] Sehingga, menurut hemat kami, dalam hal ini apabila suami dari X mengadukan Anda dan/atau istrinya kepada polisi, Anda dan/atau X dapat dituntut karena melakukan tindak pidana perzinaan.
Berdasarkan sifatnya, rumusan delik perzinaan dalam UU 1/2023 juga merupakan delik aduan absolut. Namun, yang membedakan adalah subjek yang berhak mengadu dalam KUHP baru diperluas, sehingga yang berhak mengadukan delik perzinaan adalah suami, istri, orang tua, atau anaknya yang dirugikan.[4]
Rekomendasi Berita :
Selain itu, dikutip dari artikel Bisakah Dipenjara karena Berhubungan Seks dengan Pacar?, KUHP lama mensyaratkan tindak pidana perzinaan dilakukan oleh pria dan wanita yang telah menikah, tapi dalam KUHP baru, perzinaan dapat dijerat kepada pria dan wanita yang belum menikah.
Baca juga: Hukumnya Jika Pacar Tak Mau Bertanggung Jawab Menikahi
Bisakah Mengakui Anak Luar Kawin?
Terkait dengan keinginan Anda untuk mengakui anak tersebut, sebenarnya memang sudah menjadi hak anak tersebut untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UUPA dan Pasal 56 ayat (1) UU HAM.
Hanya saja, menurut hemat kami, Anda belum tentu ayah biologis dari bayi yang sedang dikandung oleh pacar Anda mengingat statusnya yang masih memiliki suami. Kecuali hal tersebut telah dibuktikan dengan hasil pemeriksaan secara medis. Jika menurut hasil pemeriksaan medis diketahui bahwa Anda adalah ayah biologis dari anak yang dikandung pacar Anda, maka status anak tersebut adalah anak luar kawin.
Terkait anak luar kawin, Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan mengatur tentang anak luar kawin sebagai berikut:
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Lebih lanjut, terdapat perkembangan baru mengenai Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan melalui Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 yang menyatakan:
Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Artinya, anak memiliki hubungan perdata dengan ayahnya juga jika dapat dibuktikan baik berdasarkan ilmu pengetahuan (hasil pemeriksaan medis misalnya) atau secara hukum, yakni dengan melalui penetapan pengadilan.
Baca juga: Penetapan Pengadilan Terkait Penerbitan Akta Kelahiran Anak Luar Kawin
Ketentuan selengkapnya mengenai pengakuan anak luar kawin dapat Anda temukan pada Psal 280 s.d. Pasal 289 KUHPer. Adapun Pasal 281 KUHPer secara tersirat menyebutkan 3 (tiga) cara untuk mengakui anak luar kawin, yaitu:[5]
- Dalam akta kelahiran anak yang bersangkutan, yaitu pengakuan oleh seorang ayah yang namanya disebutkan dalam akta kelahiran anak yang bersangkutan.
- Dalam akta perkawinan yang ada, yaitu melaksanakan perkawinan sah antara wanita yang hamil dengan pria yang membuahinya, sekaligus mengakui anak luar kawin atau zina yang sudah dilahirkan dan pada waktu melaporkan kelahiran belum diberikan pengakuan oleh ayahnya.
- Dalam akta autentik, yaitu pengakuan yang dituangkan dalam akta autentik berupa akta notaris, dan ditindaklanjuti dengan melaporkan kepada Kantor Catatan Sipil dimana kelahiran anak itu dahulu telah didaftarkan dan minta agar pengakuan itu dicatat dalam minuta akta kelahiran yang bersangkutan.
Kemudian, cara untuk mengurus pengesahan anak luar kawin dapat Anda baca selengkapnya pada artikel Cara Mengurus Pengesahan Anak Luar Kawin.
Kesimpulannya, anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan atau secara hukum, yakni melalui penetapan pengadilan. Dengan demikian, jika benar Anda adalah ayah biologis dari anak yang dikandung pacar Anda, Anda dapat mengakui anak tersebut.
Contoh Kasus
Sebagai contoh, Anda dapat lihat dalam Putusan PN Tulungagung 12/PDT.P/2016/PN.TLG. Pada kasus ini, Pemohon (pria) telah melakukan hubungan layaknya suami istri dengan pasangannya hingga hamil. Namun, Pemohon dan pasangannya belum melakukan perkawinan secara resmi menurut ketentuan hukum yang berlaku hingga anak tersebut lahir.
Setelah anak tersebut lahir, Pemohon dan pasangannya baru bisa melaksanakan perkawinan secara sah dan resmi di KUA (“Kantor Urusan Agama”). Kemudian, Pemohon mengajukan permohonan tentang penetapan pengesahan pengakuan anak luar kawin di Pengadilan Negeri Tulungagung. Sebagaimana dikehendaki dalam ketentuan Pasal 284 KUHPer, pengakuan anak ini telah pula disetujui oleh isteri Pemohon yang tidak lain adalah ibu kandung dari anak dimaksud. Secara biologis, anak tersebut adalah anak dari Pemohon, dan Pemohon juga telah mengerti tentang akibat hukum dari permohonan pengesahan pengakuan anak ini sebagaimana ditentukan dalam pasal 282 KUHPer, yakni anak yang telah diakui tersebut berhak atas warisan dari ayahnya (Pemohon). Sehingga, Pengadilan mengabulkan permohonan pemohon dan menyatakan sah pengakuan anak luar kawin yang dilakukan Pemohon.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
Putusan:
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010;
- Putusan Pengadilan Negeri Tulungagung 12/PDT.P/2016/PN.TLG.
Referensi:
- Lukman Hakim. Kedudukan Anak Hasil Zina ditinjau dari Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jurnal De Lega Lata, Vol. 1, No. 2, 2017
- Miftahul Jannah Matondang (et.al). Delik Zina dalam Perspektif Hukum Islam, KUHP, dan RKUHP. Landraad: Jurnal Syariah dan Hukum Bisnis, Vol. 1, No. 2, 2022
- Putu Ari Sujaneka dan A.A. Ngurah Wirasila. Analisis Mengenai Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Perzinahan dalam Perspektif KUHP. Jurnal Ilmu Hukum Kertha Semaya, Vol. 4, No. 1, 2016;
- R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1995.
[1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”).
[2] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023.
[3] Putu Ari Sujaneka dan A.A. Ngurah Wirasila. Analisis Mengenai Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Perzinahan dalam Perspektif KUHP. Jurnal Ilmu Hukum Kertha Semaya, Vol. 4, No. 1, 2016, hal. 03.
[4] Miftahul Jannah Matondang (et.al). Delik Zina dalam Perspektif Hukum Islam, KUHP, dan RKUHP. Landraad: Jurnal Syariah dan Hukum Bisnis, Vol. 1, No. 2, 2022, hal. 136.
[5] Lukman Hakim. Kedudukan Anak Hasil Zina ditinjau dari Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jurnal De Lega Lata, Vol. 1, No. 2, 2017, hal. 402-403.