Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Apa Arti Frasa ‘Demi Hukum’? yang dibuat oleh Marry Margaretha Saragi, S.H., LL.M., dan dipublikasikan pertama kali pada Senin, 24 September 2012.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Penggunaan Demi Hukum dalam Peraturan Perundang-undangan
Membahas frasa “demi hukum”, kami sampaikan bahwa frasa tersebut dapat ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Contohnya dapat ditemukan dalam KUHAP dan Permenkumham 24/2011.
Ketentuan Pasal 197 ayat (2) KUHAP menyatakan:
Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, i, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Kemudian, ketentuan Pasal 9 Permenkumham 24/2011 menyatakan:
Dalam hal pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan terhadap Tahanan telah sama dengan masa Penahanan yang telah dijalankan, Kepala Rutan atau Kepala Lapas mengeluarkan Tahanan demi hukum pada hari ditetapkannya putusan pengadilan terhadap Tahanan yang bersangkutan.
Arti Demi Hukum
Sebelum dibahas lebih lanjut, perlu dipahami bahwa secara harfiah frasa “demi hukum” memiliki maksud untuk terciptanya suatu keadilan yang merupakan tujuan terciptanya hukum.
Demi hukum (ipso jure) juga dapat diartikan “dengan sendirinya menurut hukum”; tanpa diperlukan satu perbuatan atau keterangan dari orang yang bersangkutan.[1]
Berangkat dari makna tersebut, istilah “demi hukum” dapat digunakan dalam berbagai ranah hukum baik hukum perikatan atau yang sering dituangkan dalam suatu perjanjian maupun hukum publik yang berbentuk peraturan perundang-undangan.
Frasa Demi Hukum dalam Peraturan Perundang-undangan
Frasa “demi hukum” dalam Pasal 9 Permenkumham 24/2011 memiliki arti bahwa pengeluaran tahanan tersebut dimaksudkan untuk tercapainya suatu keadilan menurut hukum yang berlaku.
Definisi tersebut tentunya memiliki pengertian yang berbeda dengan Pasal 197 ayat (2) KUHAP yang mengandung kalimat mengakibatkan "putusan batal demi hukum". Adapun batal demi hukum memiliki arti dianggap tidak pernah ada atau terjadi.
Hal ini mengakibatkan tanpa adanya suatu putusan atau pengesahan lebih lanjut dari pengadilan atau instansi lain, perbuatan atau objek yang diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait (yang dalam pasal ini adalah berupa putusan) secara otomatis dianggap tidak pernah ada dan terjadi.
Frasa Demi Hukum dalam Ranah Perjanjian atau Perikatan
Selain dalam peraturan perundang-undangan, dalam suatu perjanjian juga sering kali memuat frasa “batal demi hukum”. Mengenai hal tersebut, dalam Pasal 1320 KUH Perdata diatur mengenai syarat sahnya perjanjian yakni:
- kesepakatan para pihak dalam perjanjian;
- kecakapan para pihak dalam perjanjian;
- suatu hal tertentu; dan
- sebab yang halal.
Syarat a dan b tersebut melekat pada subjek atau para pihak yang membuat perjanjian. Oleh karena itu, keduanya sering disebut sebagai syarat subyektif. Kemudian, syarat c dan d melekat pada isi dari perjanjian itu sendiri. Oleh karena itu, keduanya sering disebut sebagai syarat objektif.
Apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Namun, jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut adalah batal demi hukum.
Perihal batal demi hukum ini diatur dalam Pasal 1335 KUH Perdata yang menerangkan bahwa suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan.
Adapun dikatakan tidak mempunyai kekuatan yang diatur dalam Pasal 1335 KUHPerdata sering disebut pula dengan batal demi hukum. Artinya, perjanjian tersebut dari semula dianggap tidak pernah ada atau dilahirkan sehingga tidak pernah ada suatu perikatan.
Hal yang membedakan batal demi hukum dengan dapat dibatalkan adalah batal demi hukum dapat terjadi tanpa dimintakan pengesahan atau putusan dari pengadilan atau perjanjian tersebut batal dan dianggap tidak pernah ada. Kemudian, untuk dapat dibatalkan (dalam hal melanggar syarat subjektif), maka perjanjian tersebut baru akan dianggap batal dan tidak mengikat jika salah satu pihak meminta pembatalannya ke pengadilan.
Baca juga: Ini 4 Syarat Sah Perjanjian dan Akibatnya Jika Tak Dipenuhi
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.
Demikian jawaban dari kami terkait frasa “demi hukum” dan “batal demi hukum”, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
- Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-24.PK.01.01.01 Tahun 2011 tentang Pengeluaran Tahanan Demi Hukum.
Referensi:
Martias Gelar Imam Radjo Mulano. Pembahasan Hukum; Penjelasan Istilah-Istilah Hukum Belanda-Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.
[1] Martias Gelar Imam Radjo Mulano, Pembahasan Hukum; Penjelasan Istilah-Istilah Hukum Belanda-Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982, hal. 117