Di daerah saya masih banyak rumah-rumah kecil tidak layak huni yang berada menempel di pinggir rel kereta api. Saya ingin menanyakan, siapa yang seharusnya berwenang untuk menggusur rumah-rumah ini? Apakah PT KAI atau pemerintah daerah setempat? Adakah solusi bagi mereka yang bertempat tinggal di rumah tidak layak huni tersebut? Misalnya mereka dibuatkan rumah susun oleh pemerintah daerah. Jika mereka dibuatkan rumah susun, bagaimana status kepemilikannya? Hak milik kah?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Penggusuran rumah dalam kasus ini dikarenakan dibangun di pinggir atau menempel rel kereta api yang membahayakan atau tidak sesuai dengan ketentuan tata ruang. Di sisi lain, perlu diperhatikan pula asas pemisahan horizontal yang berlaku dalam hukum pertanahan di Indonesia.
Kemudian jika terjadi penggusuran rumah tersebut, siapa yang berwenang menggusur? Adakah solusi alternatif seperti permukiman kembali misalnya dengan membuat rumah susun?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
Guna menjawab pertanyaan Anda, mengenai siapa yang berhak melakukan penggusuran, PT Kereta Api Indonesia (“PT KAI”) atau pemerintah daerah, perlu diteliti lebih dahulu, status tanahnya apakah tanah negara atau tanah hak.
Kemudian, harus diketahui lebih lanjut siapa pemegang hak atas tanah di pinggir rel kereta api tersebut, apakah milik dari PT KAI atau milik pihak lain.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Jika tanah tersebut adalah tanah berstatus hak milik PT KAI dengan menunjukkan alat bukti sebagai pemilik hak atas tanah yang sah, maka PT KAI berwenang melakukan penggusuran tersebut.
Setiap orang dilarang membangun gedung, membuat tembok, pagar, tanggul, bangunan lainnya, mananam jenis pohon yang tinggi, atau menempatkan barang pada jalur kereta api yang dapat mengganggu pandangan bebas dan membayahakan keselamatan perjalanan kereta api.
Setiap orang dilarang membangun perumahan dan/atau permukiman di tempat yang berpotensi dapat menimbulkan bahaya bagi barang ataupun orang.
Yang dimaksud dengan “tempat yang berpotensi dapat menimbulkan bahaya” antara lain, sempadan rel kereta api, bawah jembatan, daerah Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET), Daerah Sepadan Sungai (DSS), daerah rawan bendana dan daerah kawasan khusus seperti kawasan militer.[1]
Asas Pemisahan Horizontal
Dalam hukum pertanahan Indonesia, dikenal asas pemisahan horizontal. Singkatnya asas ini berarti pemegang hak atas tanah tidak secara otomatis sebagai pemilik dari bangunan/tanaman yang ada di atas tanah tersebut, begitu pula sebaliknya.
Dengan demikian, para pemilik rumah yang ada di atas tanah yang menempel dengan rel kereta api masih memiliki hak atas bangunan/tanaman yang ada di atas tanah yang bukan milik mereka, di mana bangunan/tanaman ini memiliki nilai/harga tersendiri.
Dalam praktik, banyak kasus serupa di mana masyarakat yang tinggal di pinggir rel kereta api ini merupakan subyek pajak dan telah membayar pajak atas bangunan rumah tinggal yang ditempati setiap tahunnya.
Pemberian Kompensasi
Masyarakat yang tergusur itu tetap berhak mendapatkan kompensasi berupa uang atas nilai bangunan/tanaman yang ada di atas tanah yang akan digusur. Uang yang dimaksud adalah biasanya disebut dengan istilah uang kerohiman yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya:
Uang yang diberikan secara cuma-cuma oleh pemilik tanah kepada pemakai lahan tanpa izin; uang ganti rugi.
Besaran uang kerohiman ini tentunya ditentukan berdasarkan berbagai aspek. Dalam hal adanya pembangunan nasional di atas tanah negara atau tanah yang dimiliki pemerintah, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah, masyarakat terdampak diberikan santunan uang atau relokasi.[2]
Besaran nilai santunan dihitung dengan memperhatikan:[3]
biaya pembersihan segala sesuatu yang berada di atas tanah;
mobilisasi;
sewa rumah paling lama 12 bulan; dan/atau
tunjangan kehilangan pendapatan dari pemanfaatan tanah.
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Maka dari ketentuan di atas, negara bertugas memberikan/menciptakan hunian layak bagi masyarakat. Penggusuran bisa terjadi karena hunian masyarakat merupakan hunian berbahaya seperti dalam kasus ini letaknya di pinggir atau menempel pada rel kereta api atau tidak sesuai ketentuan tata ruang daerah.
Penggusuran rumah masyarakat di pinggir rel kereta api bisa berdampak terhadap kondisi sosial ekonomi, ketertiban umum yang biasanya menimbulkan perseteruan dan perlawanan.[4] Sehingga, apabila penggusuran tanpa menyiapkan pemindahan permukiman kelak bisa saja menciptakan permukiman ilegal lainnya.
Tentu saja pemberian uang kerohiman kepada masyarakat yang tergusur tidaklah cukup, karena itu perlu ada jaminan masyarakat bukan sebagai korban penggusuran, melainkan akan ikut menikmati pertambahan nilai dari penggusuran, misalnya dengan menyediakan rumah susun sebagaimana Anda tanyakan.
Mengingat bunyi Pasal 101 ayat (2) UU 1/2011:
Pemukiman kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memindahkan masyarakat terdampak dari lokasi yang tidak mungkin dibangun kembali karena tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan/atau rawan bencana serta dapat menimbulkan bahaya bagi barang ataupun orang.
Hak kepemilikan atas sarusun merupakan hak milik atas sarusun yang bersifat perseorangan yang terpisah dengan hak bersama atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
Oleh karena itu, masyarakat nantinya akan mendapatkan Sertifikat Hak Milik sarusun sebagai tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah negara, serta hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak pengelolaan.[5]
Alternatif pendirian rumah susun bagi masyarakat yang tergusur ini tidak hanya dari pemerintah setempat, melainkan bisa kerja sama dengan PT KAI. Sebagai contoh, pembangunan rumah susun dapat dilakukan pada lahan aset milik PT KAI.[6]
Adapun pemangku kepentingan yang terlibat dapat meliputi peran pemerintah daerah, Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, PT KAI, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk penyediaan rumah susun ini.[7]
Dengan melibatkan peran dari pemangku kepentingan tersebut diharapkan dapat menjadi win-win solution bagi seluruh pihak. Bagi masyarakat yang tergusur dapat memperoleh hunian layak dan terjangkau dengan jaminan kepemilikan. Bagi PT KAI, dapat memperoleh keuntungan melalui pengusaan lahan kembali tanpa harus kehilangan aset.[8]
Bagi Kementerian Perhubungan dapat melaksanakan pembangunan transportasi kereta api tanpa halangan yang membahayakan. Sedangkan bagi pemerintah daerah dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat bisa memfasilitasi pembangunan perumahan bagi masyarakat yang tergusur itu.[9]
[6] Dyana Lifiani Patriana Bhakti. Rel Kereta Api dan Hunian. Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2018, hal. 13
[7] Dyana Lifiani Patriana Bhakti. Rel Kereta Api dan Hunian. Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2018, hal. 13
[8] Dyana Lifiani Patriana Bhakti. Rel Kereta Api dan Hunian. Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2018, hal. 13 - 14
[9] Dyana Lifiani Patriana Bhakti. Rel Kereta Api dan Hunian. Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2018, hal. 14