Kemiskinan Bukan Alasan Mengeksploitasi Anak
Berita

Kemiskinan Bukan Alasan Mengeksploitasi Anak

Segudang aturan yang dimiliki untuk memberikan perlindungan kepada anak, tak berbanding lurus dengan fakta di lapangan. Semua kembali ke pilihan orang tua masing-masing.

M-7
Bacaan 2 Menit

 

“Dulu ada penelitian tentang ekploitasi anak jalanan. Jadi ada jam-jam tertentu dimana anak-anak ditempatkan di titik-titik tertentu, kemudian pada jam tertentu pula nanti ada orang yang mengambil mereka,” kata Magdalena kepada hukumonline akhir Januari lalu.

 

Fakta yang lebih memprihatinkan, masih menurut Magdalena, KPAI juga mendapati orang tua yang mau ‘menyewakan’ anaknya untuk diajak mengemis. Beberapa orang tua yang rela menyewakan anaknya itu berpandangan kalau sang anak harus menghormati dan menuruti kemauan orang tua. Nah, dalam konteks inilah eksploitasi terhadap anak terjadi.   

 

Banyak Peraturan, Minim Implementasi

Selain itu, kemiskinan pengetahuan juga terlihat dari minimnya pengetahuan sang orang tua terhadap peraturan perundang-undangan. Padahal bangsa ini punya segudang peraturan yang menghormati dan melindungi hak dan kepentingan anak. Sebut saja misalnya UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU No 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.

 

Sayangnya, banyaknya peraturan yang mengatur tentang anak tak membuat jumlah anak di jalanan berkurang. Bahkan jumlahnya cenderung meningkat dari hari ke hari. Padahal peraturan itu memuat sejumlah larangan dan sanksi.

 

Pasal 13 Ayat (1) huruf (b) UU Perlindungan Anak misalnya yang menyatakan setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan ekspolitasi secara ekonomi maupun seksual. Penjelasan Pasal itu mencontohkan perlakuan eksploitasi sebagai tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan. Ancaman sanksi bagi pelanggarnya tak main-main. Penjara paling lama 10 tahun dan atau denda maksimal Rp200 juta. Hal itu diatur dalam Pasal 88.  

 

Meski ada larangan dan ancaman sanksi, faktanya Sri yang sambil membawa anaknya untuk mengemis itu masih bertahan di jalanan. Di luar sana, masih banyak juga Sri lain yang membawa atau menyuruh anaknya mencari uang di jalan atau bahkan menyewakan anaknya kepada pengemis lain.

 

Pengajar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran Yesmil Anwar, mengkritik lemahnya penegakkan hukum untuk melindungi hak anak. Sekedar contoh, Yesmil menyebut UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Di dalam UU itu disebutkan bahwa tugas polisi adalah menjaga jalan dari keberadaan anak jalanan. “Tapi polisi malah hidup berdampingan ‘secara rukun dan damai’ dengan pengemis dan anak jalanan,” kata Yesmil lewat telepon, akhir Januari lalu.

Tags:

Berita Terkait