Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menerima Surat Presiden (Surpres) tentang penyampaian penugasan wakil pemerintah untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Daerah Khusus Jakarta. Keterangan itu disampaikan Ketua DPR, Puan Maharani, dalam rapat paripurna DPR RI Ke-12 masa persidangan III tahun sidang 2023-2024 di gedung DPR/MPR, Selasa (06/02/2024) kemarin.
“Selanjutnya Surat Presiden itu akan diproses sesuai mekanisme dan ketentuan yang berlaku,” katanya.
RUU Daerah Khusus Jakarta itu mendapat sorotan dari kalangan masyarakat sipil. Direktur LBH Jakarta, Citra Referandum, menilai dilayangkannya Surpres itu kepada DPR menandakan RUU tersebut didorong untuk segera disahkan setelah sebelumnya beleid itu masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2023.
“LBH Jakarta menilai Surpres RUU Daerah Khusus Jakarta adalah wujud legislasi lancung perusak demokrasi yang tidak sama sekali berorientasi pada kepentingan publik,” katanya dikonfirmasi, Rabu (7/2/2024).
Baca juga:
- Penunjukan Gubernur dalam RUU Daerah Khusus Jakarta Bentuk Kemunduran Demokrasi
- Fraksi PKS Tolak RUU Provinsi Daerah Khusus Jakarta
Citra berpendapat proses pembentukan RUU Daerah Khusus Jakarta terburu-buru dan mengabaikan prinsip partisipasi bermakna (meaningful participation). Setidaknya ada 4 catatan LBH Jakarta. Pertama, RUU digodok terburu-buru tanpa memberi ruang partisipasi bermakna bagi publik. Mengutip pernyataan Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg), Achmad Baidowi, yang menyebut RUU harus rampung 15 Februari 2024. Padahal 6 Februari 2024 DPR masuk masa reses sampai 4 Maret 2024.
Jangka waktu yang disediakan untuk membahas RUU Daerah Khusus Jakarta itu bagi Citra sangat sempit, sehingga mustahil bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara bermakna. Sekalipun dipaksakan untuk disahkan, RUU ini menambah daftar panjang praktik legislasi buruk selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Seperti revisi UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi KPK yang merusak sistem akuntabilitas dan penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia. Begitu juga pengesahan RUU Minerba dan RUU Cipta Kerja yang melegitimasi kerusakan lingkungan, perampasan lahan, dan pelemahan perlindungan pekerja/buruh.