STH Indonesia Jentera: Berbagai Kebijakan Pemerintah Minim Pendekatan Berbasis Bukti
Terbaru

STH Indonesia Jentera: Berbagai Kebijakan Pemerintah Minim Pendekatan Berbasis Bukti

Mulai dari revisi UU KPK, UU MK, UU Minerba, terbitnya UU Cipta Kerja dan sejumlah aturan turunan.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Ketua Bidang Studi Dasar-dasar Ilmu Hukum STH Indonesia Jentera, Rizky Argama (kanan atas) dan Ketua Bidang Studi Konstitusi dan Legisprudensi STH Indonesia Jentera, Fajri Nursyamsi (kiri atas) dalam sebuah diskusi, Selasa (27/02/2024).
Ketua Bidang Studi Dasar-dasar Ilmu Hukum STH Indonesia Jentera, Rizky Argama (kanan atas) dan Ketua Bidang Studi Konstitusi dan Legisprudensi STH Indonesia Jentera, Fajri Nursyamsi (kiri atas) dalam sebuah diskusi, Selasa (27/02/2024).

Kebijakan yang diterbitkan pemerintah mestinya mengacu pada kebutuhan masyarakat dan berbasis bukti serta data yang akurat. Tentunya, kebijakan yang berpihak terhadap kebutuhan rakyat luas. Alih-alih membuat kebijakan yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundangan, materi muatannya malah menuai protes publik.

Ketua Bidang Studi Dasar-dasar Ilmu Hukum Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Rizky Argama mengutip ahli kebijakan publik Inggris, Philip Davies yang menyebut pembentukan kebijakan dengan pendekatan berbasis bukti (evidence-based policymaking) diharapkan menjadi penyeimbang terhadap kebijakan berbasis opini.

Pendekatan berbasis opini (opinion-based evidence policymaking) cenderung berlandaskan pada pandangan individu atau kelompok. Bahkan kerap terinsiprasi sudut pandang ideologis, asumsi, atau dugaan spekulatif.

“Bukti yang menjadi dasar dalam kebijakan berbasis opini biasanya dipilih secara subjektif dan tidak didasarkan pada studi dengan kualitas yang memadai,” kata pria yang disapa Gama itu dalam diskusi bertema Mau Ke Mana Indonesia Setelah Enam Pemilu Pasca-Reformasi?, Selasa (27/02/2024).

Baca juga:

Alih-alih kebijakan dirancang dengan pendekatan berbasis bukti, Gama melihat yang dilakukan pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo beberapa waktu terakhir malah sebaliknya. Misalnya tahun 2019 pemerintah dan DPR merevisi UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dampaknya melemahkan lembaga anti rasuah itu. KPK sekarang menjadi alat legitimasi penguasa.

Tahun 2020 ketika pandemi Covid-19 pemerintah dan DPR malah berkonsolidasi membentuk sejumlah UU yang kontriversial. Seperti UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang kemudian dinyatakan MK inkonstitusional bersyarat dan pemerintah meresponnya dengan menerbitkan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan disetujui DPR menjadi UU No.6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu 2/2022 Menjadi UU.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait