Bayar Opportunity Cost, Memiskinkan Koruptor di Sektor SDA
Fokus

Bayar Opportunity Cost, Memiskinkan Koruptor di Sektor SDA

KPK telah mengundang sejumlah akademisi untuk membuka peluang penjatuhan sanksi lebih berat kepada pelaku korupsi sektor sumber daya alam. Perhitungannya tak mudah.

M-22/MYS
Bacaan 2 Menit
Ketua DPRD Bangkalan Fuad Amin Imron. Foto: RES
Ketua DPRD Bangkalan Fuad Amin Imron. Foto: RES
Penangkapan Ketua DPRD Bangkalan Jawa Timur, Fuad Amin, dan Gubernur Riau Anas Maamun semakin mengkonfirmasi tekad Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menaruh perhatian lebih pada korupsi di sektor sumber daya alam. Rekomendasi-rekomendasi KPK untuk memperbaiki tata kelola hutan dan tambang mulai ditindaklanjuti pemerintah daerah dengan mencabut izin.

Hingga Oktober lalu, sudah 323 izin tambang yang dicabut sesuai rekomendasi KPK. Tak hanya merekomendasikan pencabutan izin, KPK juga memproses hukum dugaan pelanggaran berbau korupsi. ”Kami sedang memproses beberapa perusahaan pertambangan yang telah merugikan keuangan negara,” kata Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja. Agar penegakan hukum berjalan baik, Adnan enggan merinci perusahaan-perusahaan dimaksud.

Sebenarnya, tak hanya izin bermasalah yang lagi disasar KPK. Komisi antirasuah ini juga sudah menggagas penggunaan opportunity cost, peluang baru untuk memiskinkan pelaku tindak pidana korupsi. Khususnya, pelaku korupsi di sektor sumber daya alam (SDA). Guna mematangkan rencana tersebut, KPK sudah mengundang sejumlah akademisi, antara lain ahli pidana dari Fakultas Hukum UI, Gandjar Laksmana Bonaparta, sosiolog Iwan Gardono Sudjatmiko, antropolog Aris Mundayat, dan ahli ekonomi kriminal dari UGM Rimawan Pradiptyo.

Biaya eksplisit
Hadir dalam sebuah diskusi di kampus UIN Ciputat, awal Desember lalu, Rimawan kembali menggaungkan peluang opportunity cost itu. Sebagai kejahatan ekstra, korupsi seharusnya mendapat perlakuan berbeda dari kejahatan biasa. Sudah saatnya aparat penegak hukum mempertimbangkan social cost of crime, biaya sosial yang ditimbulkan oleh kejahatan.

Kejahatan di sektor sumber daya alam, misalnya, berimplikasi buruk tak hanya kepada manusia sekarang, tetapi juga terhadap alam dan generasi mendatang. Ironisnya, kata Rimawan, selama ini denda atau sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku korupsi sebatas – istilah ekonomi—biaya eksplisit. Sedangkan biaya oportunitas yang hilang tidak diperhitungkan aparat penegak hukum. ”Opportunity cost yang hilang itu belum pernah dihitung dan jika bisa dihitung maka bisa mencapai ribuan triliun nilainya,” kata akademisi UGM Yogyakarta itu.

Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto memberi gambaran tentang penggunaan opportunity cost itu di pengadilan. Jika ada koruptor yang melakukan tindak pidana di sektor kehutanan, maka pengadilan kelak akan menghitung besaran kerugian selain yang diderita negara. “Misalnya, kerusakan hutan akibat tindak korupsi, dampak ekonomi yang muncul akibat infrastruktur hutan yang rusak, maupun biota yang rusak akibat ulah koruptor, nanti semua dikalkulasi dan dibebankan pada si terpidana kasus korupsi itu,” jelas  Bambang.

Peneliti ICW Emerson Juntho dan Manajer Kebijakan dan Pembelaan Hukum Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Muhnur Satyahaprabu, mendukung pengenaan biaya opportunity cost kepada terpidana korupsi sumber daya alam. Emerson mengatakan ICW sudah pernah mengusulkan itu dalam kasus-kasus korupsi kehutanan yang Riau yang ditangani Kehutanan. Tetapi putusan hakim belum sampai pada penjatuhan opportunity cost.

Walhi juga sudah mengusulkan dalam kasus kebakaran hutan di Aceh dan Riau. Karena itu, Muhnur mendukung penerapan opportunity cost kepada terpidana. “Menurut saya layak sekali,” ujarnya kepada hukumonline.

Cuma, Muhnur menggarisbawahi sanksi membayar opportunity cost tak menghapuskan penjatuhan sanksi lain. Opportunity cost bisa juga dikenakan di luar perkara korupsi, yakni kejahatan-kejahatan lingkungan yang dilakukan korporasi. Dalam kasus semacam ini, beban oportunitas dibebankan kepada perusahaan yang terbukti merusak lingkungan.

Kapasitas dan peluang
Muhnur melihat kapasitas penegak hukum sebagai salah satu problem dalam menerapkan opportunity cost. Kesadaran aparat penegak hukum terhadap dampak kerusakan lingkungan belum terbangun sepenuhnya, dan pemahaman setiap pemangku kepentingan berbeda-beda, terutama pemahaman tentang kerugian lingkungan. “Mereka berpikir kerugian itu hanya kerugian negara yang konkrit atau nyata,” ujarnya.

Meskipun ada peluang, Rimawan juga melihat penerapannya tak mudah karena biaya oportunitas masih sulit diterima dalam hukum pidana. Sebab, sifat biaya oportunitas  tidak riil, tidak nyata. “Penegak hukum beranggapan biaya oportunitas itu hanya diakui dalam hukum perdata”.

Padahal, kata Rimawan, parameter yang bisa digunakan aparat penegak hukum bukan hanya kerugian negara, tetapi juga perekonomian negara. Jika aparat penegak hukum mengkaji perekonomian negara, maka peluang hakim menjatuhkan opportunity cost lebih besar.

Rimawan mengakui menghitung kerugian implisit itu salah satu pekerjaan rumah pemberantasan korupsi di sektor SDA. Ia mengaku sudah sering mengdengar keluhan jaksa untuk menghitung kerugian perekonomian negara kalau ingin memasukkan ke dalam tuntutan. Ia mengaku bersedia membantu perhitungan. ”Free of charge,” gurau Rimawan.

Walhi, kata Muhnur, juga sedang menyusun usulan bagaimana menghitung kerugian akibat pencemaran lingkungan. ”Banyak aspek yang harus dikaji,” kata Muhnur.

Wakil Ketua KPK Bambang Widjajanto mengatakan mekanisme opportunity cost diharapkan bisa menimbulkan efek jera dan mencegah kerugian negara. Selama ini, negara masih terbebani ongkos penanganan kasus korupsi, yang kian lama kian membutuhkan biaya besar. Menurut Bambang, seharusnya koruptorlah yang diminta menanggung biaya penanganan kasus korupsi. Pendeknya, koruptor harus menanggung seluruh dampak perbuatannya.

Cara menghitung kerugian opportunitasnya bagaimana? "Kalau mau koruptor itu dimiskinkan, maka metodologi itu harus dicari," kata  Bambang. Pertemuan KPK dengan sejumlah akademisi awal Desember lalu adalah dalam rangka menemukan metode perhitungan yang pas.
Tags:

Berita Terkait