10 Catatan LBH Jakarta untuk Revisi Permenkumham Paralegal
Berita

10 Catatan LBH Jakarta untuk Revisi Permenkumham Paralegal

Mulai definisi penerima bantuan hukum diperluas, hingga pengaturan pendanaan yang menimbulkan multitafsir.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

Keempat, kompetensi. Menurutnya rumusan aturan kompetensi dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a mensyaratkan kompetensi bagi paralegal, antara lain memahami hukum dasar. Bagi Andi, sekilas syarat tersebut biasa dalam menunjang pemberian bantuan hukum. Namun bila ditelaah, syarat tersebut tak membedakan paralegal dengan advokat yang cenderung dapat menghidupkan pokrol bambu pada masa kolonial.

Syarat tersebut secara tak langsung memberatkan bagi calon paralegal yang hanya mengandalkan pelatihan paralegal terbatas. “Makanya menjadi tak mungkin dapat menghasilkan paralegal yang dapat mengerti hukum dasar. Mesti pula disadari tugas dan peran paralegal terdapat pula aspek nonhukum lainnya.”

Kelima, banyak lampiran syarat pemberi bantuan hukum dalam mengajukan pengakuan kompetensi ke BPHN. Pengaturan syarat yang perlu dilampirkan untuk mendapat pengakuan kompetensi diatur Pasal 5 ayat (3). Seperti laporan pendidikan dan pelatihan paralegal. Kemudian, laporan aktualisasi yang berisi rencana, pelaksanaan dan hasil kerja yang dibuat oleh paralegal yang ditandatangani advokat sebagai mentor dan ketua/direktur pemberi bantuan hukum.

Dia menilai syarat tersebut terlampau banyak, standar kompetensi hanya diperuntukan bagi profesi. Sedangkan paralegal bukanlah profesi. Faktanya, organisasi bantuan hukum (OBH) yang membuat laporan dan memberikan penilaian. “Maka cukup sampai OBH saja, tidak perlu sampai BPHN/negara,” kata dia.

Keenam, standardisasi pararegal. Pengaturan standardisasi paralegal diatur Pasal 7 ayat (1) Permenkumham 3/2021. Menurutnya, perubahan pengaturan standardisasi terlihat dari aturan sebelumnya yakni Permenkumham No.1 Tahun 2018 tentang Pararegal dan Pemberi Bantuan Hukum. Khususnya terkait pengembangan materi kurikulum paralegal, penyelenggara “dapat berkonsultasi” dengan BPHN. Sedangkan Permenkumham 3/2021, kompetensi dan/atau kurikulum “ditetapkan” oleh Kepala Badan (BPHN).  

Bagi LBH Jakarta, hal tersebut dinilai memberi kewenangan berlebih bagi BPHN untuk menentukan kurikulum dan kompetensi perekrutan paralegal. Dia khawatir nantinya bakal memberi standar yang rigid bagi perekrutan paralegal tanpa memperhatikan atau mempertimbangkan tiap wilayah, daerah, komunitas dan/atau kelompok mana yang memiliki kemampuan berbeda yang tidak dapat disamaratakan.

Ketujuh, tata cara pendidikan dan pelatihan (Diklat) terhadap paralegal. Pasal 6 ayat (3) menyebutkan, “Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dapat dilaksanakan oleh panitia setelah mendapatkan persetujuan dari BPHN”. “Adanya ketentuan Pasal 6 Ayat (3) tersebut justru dapat menjadi penghambat pelaksanaan pendidikan dan pelatihan terhadap paralegal.”

Tags:

Berita Terkait