3 Catatan Komnas HAM Terkait Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Secara Non Yudisial
Utama

3 Catatan Komnas HAM Terkait Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Secara Non Yudisial

Mekanismenya harus mengacu Pasal 47 UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Selain itu, mekanisme non yudisial tidak menghilangkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat secara yudisial.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Menurut Beka, selama ini Komnas HAM terus melakukan proses verifikasi terhadap korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Verifikasi dilakukan dengan menyambangi para korban yang berada di berbagai wilayah. Dalam proses verifikasi itu korban mengisahkan bagaimana peristiwa yang dialaminya, misalnya hartanya dirampas, mendapat perlakuan kejam, kekerasan, dan lainnya. Semua itu terdokumentasi dengan baik.

“Kami tidak hanya mengantongi nama korban, tapi juga kronologi peristiwa yang dialami,” bebernya.

Hasil verifikasi itu sebagai acuan Komnas HAM untuk menerbitkan Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM Berat. Surat itu bisa digunakan korban untuk asesmen ke LPSK. Setelah proses asesmen LPSK mengeluarkan bantuan sosial dan pelayanan medis.

Komnas HAM juga menghubungkan korban dan keluarganya dengan pemerintah daerah setempat untuk menyediakan pemulihan. Seperti yang dilakukan pemerintah Provinsi Lampung yang bersedia menggulirkan program bantuan bagi korban pelanggaran HAM berat kasus Talangsari. Ada juga salah satu kampus di Lampung yang memberi kemudahan bagi korban untuk masuk ke perguruan tinggi tersebut.

“Praktik baik seperti itu perlu dilakukan di daerah lain.”

Meski begitu, Beka menegaskan mekanisme non yudisial tidak menghilangkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat secara yudisial. Komnas HAM tetap mendorong penyelesaian secara yudisial. Sementara Keppres yang diteken Presiden Jokowi itu semakin memperkuat upaya untuk memberikan pemulihan terhadap korban. “Tugas kita memastikan Keppres bisa berjalan,” imbuhnya.

Pengungkapan kebenaran

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Amnesty International Indonesia sekaligus pengajar STH Indonesia Jentera, Usman Hamid, mengatakan salah satu hak korban dan keluarga korban serta penyintas pelanggaran HAM berat adalah pengungkapan kebenaran. Hal tersebut merupakan bagian dari upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM berat secara komprehensif.

“Misalnya kenapa tragedi 1965-1966 itu bisa terjadi. Itu perlu proses pengungkapan kebenaran dari penuturan para korban, keluarga, saksi penyintas, untuk dituangkan dalam deskripsi peristiwa,” kata Usman Hamid.

Usman melihat drafKeppres tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu yang disebut Presiden Joko Widodo itu menekankan penyelesaian dengan mekanisme non-yudisial. Dari informasi yang disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, Usman menyebut pemerintah berupaya menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat secara paralel yakni melalui jalur yudisial dan non-yudisial.

Tim yang dibentuk melalui Keppres itu menurut Usman sebagian merupakan individu yang relatif baik di bidang hukum dan HAM. Tapi ada beberapa anggota tim yang berpotensi akan menimbulkan persoalan. Setelah diminta untuk bergabung dengan tim tersebut Usman menolak dengan alasan menjaga independensi Amnesty International Indonesia.

Dalam draft Keppres yang diterimanya, Usman menyebut tim itu diketuai oleh Prof Makarim Wibisono dan wakilnya Marzuki Darusman. Sekretaris tim yakni Ifdhal Kasim mantan komisioner Komnas HAM. Kemudian ada beberapa anggota tim antara lain Suparman Marzuki mantan Ketua KY, Prof Harkristuti Harkrisnowo, Usman Hamid, Zaenal Arifin Mochtar, Komarudin Hidayat, dan lainnya. Ada juga 2 nama anggota tim yang berpotensi menimbulkan persoalan dalam penegakan hukum dan HAM.

Di atas tim pelaksana itu dibentuk tim pengawas yang diketuai Menkopolhukam dan Wakilnya Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Anggotanya antara lain Menteri Hukum dan HAM, Menteri Keuangan, Menteri Sosial, dan Kepala Staf Presiden. 

Tags:

Berita Terkait