4 Alasan Perppu Cipta Kerja Harus Dicabut
Terbaru

4 Alasan Perppu Cipta Kerja Harus Dicabut

Salah satunya karena Perppu tidak mendapat persetujuan DPR di sidang paripurna dalam masa persidangan III tahun sidang 2022-2023.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Diskusi bertema ‘Cabut Perppu Ciptaker Segera!’, Minggu (19/02/2023). Foto: Ady
Diskusi bertema ‘Cabut Perppu Ciptaker Segera!’, Minggu (19/02/2023). Foto: Ady

Persetujuan di tingkat Badan Legislasi (Baleg) DPR dalam rapat kerja dengan pemerintah memboyong Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja ke dalam rapat paripurna. Namun dalam rapat paripurna penutupan tidak mengagendakan persetujuan Perppu 2/2022 menjadi UU. Meski demikian, pengambilan keputusan persetujuan di tingkat Baleg pun tidak secara bulat. Sebab Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan Fraksi Partai Demokrat menolak persetujuan. Begitu pula dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) .

Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Fajri Nursyamsi, mengatakan Perppu 2/2022 layak dicabut. Setidaknya ada 4 alasan Perppu yang diterbitkan Presiden Joko Widodo di penghujung 2022 itu harus dicabut. Pertama, Perppu 2/2022 tidak mendapat persetujuan DPR di sidang paripurna dalam masa persidangan III tahun sidang 2022-2023.

Fajri menjelaskan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur Perppu diterbitkan Presiden karena ihwal kegentingan yang memaksa. Walau Perppu merupakan subjektivitas presiden, tapi ada koridor yang diberikan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui pertimbangan putusan No.138/PUU-VII/2009.  Antara lain terjadi kekosongan hukum dan tidak bisa diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa.

“Tapi apa yang terjadi dalam masa sidang kemarin di DPR, tidak ada pengesahan atau penolakan oleh DPR. Itu artinya situasi baik-baik saja dan perbaikan UU No.11 Tahun 2020 bisa dilakukan sebagaimana putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020, dibahas ulang dan melibatkan partisipasi publik,” ujarnya dalam dalam diskusi bertema ‘Cabut Perppu Ciptaker Segera!’, Minggu (19/02/2023) kemarin.

Baca juga:

Mengacu Pasal 22 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, Fajri mengatakan Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikut. Perppu 2/2022 diterbitkan pada Jumat (30/12/2022) dan masa persidangan III DPR tahun sidang 2022-2023 berlangsung 16 Januari – 16 Februari 2023. Dalam masa sidang tersebut, Perppu 2/2022 tidak ditolak atau disetujui DPR.

Mengingat dalam masa sidang tersebut DPR tidak memberikan persetujuan, Fajri mengatakan Pasal 22 ayat (3) UUD 1945 memerintahkan Perppu itu harus dicabut. “Presiden harus mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pencabutan Perppu kepada DPR untuk mendapat persetujuan bersama dan menjadi UU,” ujarnya.

Kedua, DPR gagal melaksanakan kekuasaannya untuk mengimbangi kekuasan Presiden. Mengingat DPR tidak membuat menjadikan Perppu sebagai UU dalam masa sidang kemarin, Fajri menilai DPR gagal menjalankan kekuasaannya membentuk UU. Ketiga, rapat paripurna adalah forum pengambilan keputusan tertinggi di DPR.

Walau ada pandangan dari DPR yang menyatakan secara prinsip dan substansial Perppu sudah disetujui DPR, tapi tetap secara prosedur pengambilan keputusan tertinggi di DPR dilakukan dalam rapat paripurna. Ada banyak contoh yang menjelaskan kesepakatan dalam pembahasan tingkat I tak berarti disetujui dalam pembahasan tingkat II atau sidang paripurna.

“Bisa dilihat RUU KUHP pada 2019 silam dimana demonstrasi besar dan memakan korban jiwa. RUU KUHP yang telah disepakati pada pembicaraan tingkat I tapi tidak masuk untuk dibahas dalam sidang paripurna,” ujarnya.

Keempat, memberikan ketidakpastian hukum bagi pelaku usaha. Fajri menjelaskan masyarakat menolak UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 menyatakan beleid itu inkonstitusional bersyarat dan pemerintah diperintahkan untuk membahas kembali dengan melibatkan partisipasi secara bermakna.

Tapi putusan MK itu diabaikan dengan cara menerbitkan Perppu. Ujungnya sampai masa sidang III tahun sidang 2022-2023 DPR tak mengesahkan Perppu tersebut. Hal itu membuat kalangan pengusaha tidak mendapat kepastian hukum sekaligus bertentangan dengan upaya deregulasi yang diusung pemerintah.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur, mengatakan DPR tidak mau melakukan tugas mengevaluasi dan mengawasi pemerintah. Berbagai UU diterbitkan mengikuti kepentingan pemodal seperti UU MK, UU Minerba dan Cipta Kerja. “Kita tidak melihat fungsi DPR sebagai wakil rakyat,” tegasnya.

Soal Perppu, Isnur melihat sikap DPR menunjukkan tidak ada kegentingan yang memaksa. Hal itu terlihat dari proses setelah Presiden menerbitkan Perppu akhir tahun 2022 kemudian DPR menanggapinya santai dengan tidak membahas Perppu dalam masa sidang kemarin. Jika dianggap penting karena dalam situasi genting dan darurat seharusnya DPR segera membahas Perppu.

“Kebohongan semakin terkuak, tidak ada kegentingan memaksa, tapi pemerintah memaksakan kegentingan. Ini biasanya karakter otoritarian,” imbuhnya.

Rakyat saat ini berada dalam situasi yang sulit menghadapi berbagai kebijakan pemerintah. Isnur menilai pemerintah telah mengabaikan putusan MK antara lain membahas ulang UU 11/2022 dengan melibatkan partisipasi bermakna. Hal itu dibuktikan dengan terbitnya Perppu 2/2022. Sebab Perppu merupakan subjektivitas presiden, sehingga tidak ada partisipasi publik bermakna. Berharap DPR melakukan tindakan sesuai harapan rakyat, menurut Isnur juga jauh panggang dari api.

Terakhir, rakyat juga sulit untuk percaya terhadap MK karena ada beberapa peristiwa misalnya ada pemecatan hakim konstitusi Aswanto oleh DPR. Kemudian hakim konstitusi juga disorot karena ditengarai terjadi karena mengubah sebagian frasa putusan. “Saat ini rakyat pada titik dimana tidak percaya terhadap MK, lembaga eksekutif dan legislatif. Maka yang diperlukan sekarang adalah gerakan rakyat,” pungkasnya.

Sebagaimana diketahui, dalam rapat kerja, Rabu (15/2/2023) antara Baleg dengan pemerintah menyepakati persetujuan Perppu 2/2022 diboyong ke dalam rapat paripurna untuk mendapat persetujuan di tingkat II. Kendati di rapat kerja tingkat Baleg Perppu 2/2022 tidak mendapat persetujuan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Demokrat dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), namun secara mayoritas fraksi partai menyetujui Perppu 2/2022 untuk ambil keputusan persetujuan menjadi UU dalam rapat paripurna. Dengan kata lain, persetujuan tidak secara bulat.

Masalahnya, Perppu yang sudah disetujui di tingkat Baleg, dalam rapat paripurna penutupan masa sidang pada Kamis (16/2/2023)  tidak diagendakan pengambilan keputusan persetujuan Perppu 2/2022 menjadi UU. Tapi bakal diambil pada masa sidang berikutnya. Bagi koalisi masyarakat sipil, tindakan DPR menjadi soal dari aspek pembentukan peraturan perundangan.

Tags:

Berita Terkait